19 July 2016

Nongkrong

Haedar, anak saya kedua, pagi ini pamit membeli bubur ayam di danau, di kompleks perumahan saya. Jaraknya sekitar 500 meter dari rumah. Membawa uang Rp 10 ribu, dia mengayuh sepeda merahnya. Sendiri.

Haedar belum masuk sekolah hari ini. Sekolah menambah libur satu hari, karena ada program buat siswa baru, yang masuk sejak Senin kemarin. Jadi, Haedar dan kakaknya, Haekal, baru masuk Kamis lusa.

Karena saya dan istri harus kerja, Haedar harus pergi makan sendiri bubur kesukaannya. Biasanya, saya menemaninya makan bubur. Kadang di tempat bubur ayam di dekat rumah, kadang di tempat yang sekarang dia tuju sendirian. Jadi, pagi ini saya hanya melihat dia ngacir keluar rumah dengan sepedanya ke danau.

Danau adalah sebutan untuk danau buatan di kompleks perumahan kami. Dia bagian dari lahan hijau yang dibuat pengembang. Saat hari Sabtu dan Minggu, tempat ini penuh pedagang. Saat bulan puasa lebih gila lagi. Keramaian di sekitar danau, bikin jalan kompleks macet, karena orang mencari makanan buka puasa. Saat hari biasa, masih ada beberapa pedagang berjualan, seperti pedagang bubur ayam favorit anak saya.

Pagi ini, saya dan istri saya mampir ke danau sebelum berangkat kerja. Istri saya menghampiri Haedar yang asyik nongkrong sendiri, menikmati bubur ayam.

Saya tidak tahu, Haedar bilang apa ke pedagang bubur. Mungkin karena sudah terbiasa, pedagang sudah hapal pesanan bubur Haedar. Saya melihat si pedagang duduk di sebelah Haedar. Sayang, dia merokok di sebelah anak saya.

Tapi anak saya tampak tidak peduli. Dari balik punggungnya, saya menyaksikan anak saya menatap ke depan, ke arah jauh, sambil mengunyah bubur.

Pagi ini, saya memandangi kepala dan punggung anak saya. Anak tujuh tahun ini terlihat tenang, duduk santai, di lapak bubur ayam. Sendiri. Saya merasa dia berani dan dewasa.