19 October 2015

Pesan Angus Deaton Juga Pas untuk Indonesia

Kompas Cetak | 19 Oktober 2015

Memberi penghargaan kepada mereka yang beberapa tahun sebelumnya telah memberi kontribusi besar pada aspek kemanusiaan. Demikian wasiat si penemu dinamit Alfred Bernhard Nobel yang wafat tahun 1896 tentang tujuan penggunaan kekayaannya.

Angus Deaton,  ekonom pemegang dua kewarganegaraan, Inggris dan Amerika Serikat, tiba pada konferensi pers di Princeton University, Princeton, New Jersey, AS, 12 Oktober. Deaton memenangi hadiah Nobel Ekonomi 2015 berkat penelitiannya menggunakan data survei rumah tangga, yang memperlihatkan perilaku konsumsi warga miskin dan bagaimana pemerintah dapat membantu mereka.
AFP/JEWEL SAMAD
Angus Deaton, ekonom pemegang dua kewarganegaraan, Inggris dan Amerika Serikat, tiba pada konferensi pers di Princeton University, Princeton, New Jersey, AS, 12 Oktober. Deaton memenangi hadiah Nobel Ekonomi 2015 berkat penelitiannya menggunakan data survei rumah tangga, yang memperlihatkan perilaku konsumsi warga miskin dan bagaimana pemerintah dapat membantu mereka.
Itulah cikal-bakal pemberian hadiah Nobel yang dimulai pada 1901. Kali ini, untuk kategori hadiah Nobel Ekonomi 2015, penghargaan diberikan kepada Profesor Dr Angus Deaton, ekonom berkebangsaan Inggris-Amerika Serikat yang mengajar di Princeton University, New Jersey, AS. Khusus untuk Nobel Ekonomi, penghargaan mulai diberikan pada 1969.

Kali ini, analisis Deaton berjudul "Konsumsi, Kemiskinan, dan Kesejahteraan" menjadi penentu kemenangannya. Di dalam analisis ini, Deaton memodifikasi teori Milton Friedman dan Franco Modigliani (sama-sama peraih Nobel Ekonomi) yang mengatakan, jika pendapatan turun, konsumsi otomatis menurun.

Ini memunculkan istilah "Paradoks Deaton". Deaton berkata, jika yang digunakan data makro atau data-data nasional dan diambil nilai rata-rata, benar bahwa pendapatan yang menurun akan menurunkan konsumsi. Akan tetapi, jika dilihat lebih mendalam, konsumsi tidak otomatis menurun jika pendapatan menurun. Mengapa? Ada warga yang terpaksa meminjam jika konsumsinya terganggu karena penurunan pendapatan.

Bagaimana mengatasi paradoks ini? Deaton bersama ekonom dari Universitas Oxford, John Muelbauer, menciptakan "Almost Ideal Demand System" (Sistem Permintaan yang Hampir Ideal). Teori ini menekankan pentingnya pemetaan permintaan dengan menelisik lebih detail efek penurunan pendapatan terhadap konsumsi.

Deaton dan Muelbauer ingin penelaahan berdasarkan survei saksama. "Dia selalu berpikir tentang upaya memotret dunia nyata yang kompleks ini," kata ekonom Janet MCurrie, koleganya di Princeton.

Sangat layak

Tidak ada yang meragukan kelayakan Deaton sebagai penerima Nobel tahun ini. "Angus Deaton meraih Nobel karena membawa perekonomian kembali ke dunia nyata," demikian situs majalah The Economist edisi 17 Oktober.

Apa implikasi temuan Deaton? Dengan pemotretan saksama, program pemberian subsidi pangan sebagai contoh, bisa diarahkan secara efektif kepada yang benar-benar membutuhkan. Lewat pemotretan nyata, setiap peluncuran kebijakan pemerintah bisa berjalan efektif.

Namun, bagi Deaton, pemotretan nyata tidak memadai walaupun itu penting. Deaton mencontohkan lagi sebagai berikut. Bagaimana seorang bayi bisa meninggal karena penyakit yang bisa disembuhkan? Ironisnya, rumah sakit hanya berjarak 100 meter dari rumahnya?

Deaton mengatakan, ada kalanya, karena rumah sakit itu milik swasta tanpa regulasi. Keberadaan rumah sakit bukan untuk semua pasien, termasuk pasien yang tak mampu.

Bagaimana mengatasi hal ini? Dalam pandangan Deaton, hal ini adalah tugas pemerintah yang harus benar-benar ada untuk rakyat. Pemerintahan ini harus punya kemampuan. Bukan melulu soal uang atau ketersediaan uang pemerintah. Ini juga soal politik dan sistem politik yang peduli soal pemberdayaan pada kaum lemah.

Mengena bagi Indonesia

"Pandangan Deaton mengena, bahkan sangat hakiki bagi Indonesia," kata dosen Fakultas Ekonomi UGM, A Tony Prasetiantono. "Panitia Nobel memberi hadiah kepada ekonom yang memiliki cakupan tentang "bagaimana membuat umat manusia sejahtera dengan mengurangi kemiskinan". Isu ini merupakan hal yang paling hakiki dan untuk inilah alasan mengapa ilmu ekonomi (economics) tercipta. Penemu ilmu ekonomi, Adam Smith (1776), si penulis "The Wealth of Nations", juga berpikir tentang bagaimana manusia bisa sejahtera dan mereduksi kemiskinan.

Soal bantuan asing

Analisis Deaton mencakup tema yang sangat banyak. Dia menganalisis bantuan asing, yang tujuan utamanya membantu pembangunan ekonomi di negara berkembang dengan tujuan mereduksi kemiskinan. Temuan Deaton memperlihatkan, bantuan asing itu justru melestarikan kemiskinan.

Mengapa? Ini kembali kepada masalah kapasitas pemerintahan. Akan tetapi, masalah lain muncul ketika pemerintah si penerima bantuan tunduk pada donatur dengan segala persyaratan dan bukan tunduk pada keperluan rakyat yang dibantu. Maka, bantuan asing yang tujuan awalnya menyejahterakan rakyat telah gagal.

Ini dia tuliskan pada September 2013 di situs The Project Syndicate berjudul "Weak States, Poor Countries". Kesimpulannya, bantuan asing melestarikan kemiskinan, bahkan memperburuknya.

Bagaimana mengatasi hal itu? Deaton mengatakan, kembali saja pada tujuan utama bantuan itu, yakni demi rakyat, demi memakmurkan rakyatnya.

Mengomentari hal ini, Wakil Direktur Bank Pembangunan Asia (ADB) untuk kantor Indonesia, Dr Edimon Ginting, mengatakan, kebijakan yang terarah untuk mengurangi kemiskinan memang amat diperlukan. Di Indonesia, ADB telah menekankan transparansi saat pengucuran bantuan juga mencegah kebocoran.

(REUTERS/AP/AFP/MON)

Rusia, AS, dan Suriah

Kompas Cetak | 19 Oktober 2015 | Halaman Opini

Sungguh malang nasib yang menimpa Suriah. Ibarat kata, negeri itu sudah jatuh tertimpa tangga; menjadi ajang pertarungan kekuatan besar.

Sulit untuk tidak mengatakan bahwa Suriah telah menjadi mandala proxy war, perang proksi, tidak hanya antara Rusia dan AS, tetapi juga antara Turki dan Kurdi, antara Arab Saudi dan Iran. Apa yang terjadi di Suriah bukan lagi sekadar perang saudara, perang sektarian, tetapi sudah menjadi perang multi-proksi, yang melibatkan sejumlah negara yang bertarung untuk mempertahankan atau memenuhi kepentingan nasionalnya.

Memang, beberapa waktu lalu, Presiden AS Barack Obama mengatakan tidak akan membiarkan konflik yang terjadi di Suriah menjadi perang proksi antara AS dan Rusia. Akan tetapi, kenyataan di lapangan berkata lain.

Sejak awal bulan ini, Rusia secara jelas dan tegas memberikan dukungan kepada rezim Bashar al-Assad bersama dengan Iran—ditambah Hezbollah—untuk menghadapi kelompok perlawanan bersenjata, termasuk Negara Islam di Irak dan Suriah. Iran memberikan banyak bantuan, termasuk logistik, militer, dan keuangan. Bahkan, belakangan diberitakan Garda Revolusi Iran pun dikirim ke Suriah. Adapun Rusia mengerahkan pesawat tempurnya, mengebomi posisi kelompok perlawanan.

Di pihak lain, sudah menjadi rahasia umum, AS memainkan peran penting dengan mendukung kelompok-kelompok perlawanan, bersama dengan Arab Saudi dan Qatar. Bahkan, beberapa hari lalu, kelompok perlawanan mengaku mendapatkan bantuan peluru kendali anti tank dari AS. Pengakuan itu yang antara lain membuat Rusia menurunkan frekuensi serangannya terhadap kelompok perlawanan anti Bashar.

Kalau kita mengikuti definisi tentang perang proksi yang disodorkan Stephen D Biddle dari Council on Foreign Relations, apa yang terjadi di Suriah adalah perang proksi. Ia mendefinisikan perang proksi sebagai ”aktor luar yang memajukan sebuah agenda dengan menggunakan para petarung lokal”.

Jelas di sini aktor luarnya adalah AS, Rusia, Iran, Arab Saudi, Qatar, dan Turki. Mereka menggunakan ”petarung” lokal di Suriah untuk menjamin kepentingan mereka, mengamankan kepentingan nasional mereka. Meski demikian, pendapat Biddle itu disanggah ilmuwan lain, seperti John McLaughlin dari Johns Hopkins University dan Cliff Kupchan, analis dari Eurasia Group.

Apa pun definisinya, yang pasti perang di Suriah yang menewaskan lebih dari 200.000 orang memaksa jutaan orang mengungsi mencari tempat aman, antara lain membanjiri negara-negara Eropa, ribuan lain terluka, dan jutaan lainnya menderita dan tertutup masa depannya.

Apakah itu yang mereka cari? Demi kekuasaan, demi kepentingan nasional, orang tak berdosa menjadi korban.