Saat musim haji seperti ini, saya sering ingat bapak saat pergi haji. Bapak pergi haji bersama ibu pada tahun 2008. Mereka menyisihkan gaji, juga uang pensiun untuk berangkat haji. Anak-anak ikut patungan untuk menambah kekurangan. Alhamdulillah, mereka bisa berangkat haji.
Bapak orang lugu. Hidupnya lurus-lurus saja. Karena itu, tidak ada niat lain baginya pergi haji, selain ibadah.
Suatu ketika, ibu kehilangan bapak saat di Masjidil Haram. Ibu menangis, sebab bapak sudah agak pikun saat itu. Lagipula, berhaji adalah pengalaman pertama bapak pergi jauh. Tidak ada seorang pun dia kenal. Begitu pikiran ibu. Itu sebab ibu khawatir.
Setelah beberapa jam hilang, bapak bisa ditemukan di sekitar Masjidil Haram. Bapak bilang waktu itu, "Saya pergi haji itu untuk ibadah. Jadi, saya lupakan anak-istri." Sepertinya, bapak sengaja menghilang, beribadah tanpa peduli siapapun.
Dua tahun setelah pulang haji, bapak meninggal. Saya adalah orang yang tidak merasa sedih, saat bapak meninggal. Bagi saya, bapak orang baik. Jika datang saat meninggal, saya percaya dia punya tempat istimewa di alam sana.
Saat bapak meninggal, hujan deras mengiringi. Hujan datang seperti air kran yang dibuka. Deras. Namun, hujan tetiba berhenti, saat jenazah bapak digotong ke makam. Persis seperti air kran yang ditutup tiba-tiba. Orang-orang berbisik, "Bapakmu itu orangnya ikhlas." Saya berpikir, apa berhentinya hujan itu tanda alam menerima keikhlasannya. Amin.
Hari itu, orang-orang mengantar bapak pulang ke penciptanya. Saya tidak pernah merasa sedih kehilangan dia. Saya bangga bapak pulang lebih dulu.