23 March 2014

Makanan Halal di London

Hal yang sedikit merepotkan di London, adalah mencari makanan halal. Di negara mayoritas non muslim seperti ini, daging babi dan alkohol menjadi hal biasa. Coba jalan-jalan ke London, daging babi bertebaran di mana-mana.

Untung, ada beberapa kenalan yang menunjukkan tempat-tempat makanan halal. Salah satunya, masakan orang muslim Indonesia sendiri.

Di London, saya menemukannya di Cina Town. Warung ini menyempil di ujung lantai dua sebuah bangunan, yang saya lupa mencatatnya. Karena nyempil, maka namanya Warung Pojok. Warung ini menjajakan masakan Padang. Tapi, ada juga siomay dan bakso.

Saya mencoba masakan Padang, dengan sambel cabe ijo yang menggoda. Porsinya gede bener. Saya bisa keringetan, makan siang di London yang dingin seperti ini.

Saya kenal warung ini dari Mas Dono, fixer kami selama di London. Warung ini memang punya teman dia. Namanya Aa Firdaus, dari Bogor.

Selain jualan warung, Aa juga punya warung kelontong di sebelah warung nasinya. Warung kelontongnya menjual barang-barang khas Indonesia, seperti minyak kayu putih, Indomie atau kecap ABC, yang diimpor dari Belanda.

Warung Pojok sendiri, sepertinya jadi tempat kumpul warga Indonesia di London. Saya bertemu dengan beberapa orang Indonesia di sana.

Tapi, ada juga warga Malaysia yang menikmati warung ini. Ada beberapa orang Asia bercakap menggunakan logat Malaysia, saat kami di sana. Kabarnya, muslim Malaysia lebih ketat dalam menjaga makanan, daripada orang Indonesia. Maksudnya, muslim Indonesia lebih cuek soal makanan, daripada orang Malaysia. Katanya, ya.

Selain Warung Pojok, saya juga diajak mencoba rumah makan Cina di kawasan London lain. Namanya Noodle Oodle, di kawasan Bayswater, London. Daerah ini memang banyak dihuni orang Malaysia dan Arab. Tak heran, beberapa warung memajang sertifikat halal di depan pintu mereka. Noodle Oodle salah satunya.

Noodle Oodle menjual masakan khas Cina. Karena menggemari mie, saya sih langsung mencoba mienya. Saya lupa namanya. Pokonya ada kata spicy, begitulah.

Dan ternyata, porsinya gede banget. Mangkuk yang mereka sajikan segede mangkuk sup, untuk empat orang. Kalau tidak salah, harganya sekitar £7. Tidak usah mencoba membandingkannya dengan rupiah. Santai saja.

Awalnya, saya kaget melihat penampakan porsi ini. Buanyak banget. Tapi, dinginnya London membantu saya melahap mie ini.

Seperti halnya Warung Pojok, rumah makan Cina ini juga dikenal oleh warga Indonesia di London. Mungkin karena ada sertifikat halalnya. Di sana, kami juga berpapasan dengan warga Indonesia lain.

Yang lucu, warung ini jujur banget. Warung ini memajang papan peringatan adanya pencopet. "Pickpocket operate in this area," begitu peringatannya. Peringatan ini ditempel di tembok, bahkan di meja makan.

Padahal, warung ini juga punya CCTV. Tapi, sepertinya warung ini tidak bisa bertindak lebih jauh, selain memperingatkan pelanggannya agar hati-hati. Jadi, hati-hati kalau mampir ke warung ini.

21 March 2014

Makam Orang Jawa di Brookwood

Hari ini saya berkunjung ke kompleks pemakaman Brookwood, Woking, Surrey, United Kingdom. Sebenarnya saya mencari makam Muhammad Marmaduke Pickthall. Dia tokoh muslim Inggris, yang dikenal sebagai penerjemah Al Quran pertama ke Bahasa Inggris.

Pemakaman Brookwood sendiri merupakan pemakaman luas di luar kota London. Komplek ini berada sekitar 45 kilometer di Barat Daya kota London. Pemakaman Ini punya beberapa kategori berdasarkan agama, negara juga kategori lain. Bahkan, mereka punya kompleks khusus buat makam Ahmadiyah, Ismaili, bahkan pengikut Zoroaster.

Makam Pickthall, yang meninggal pada 1936, berada di sebelah komplek kaum Zoroaster, di komplek pemakaman Brookwood itu. Makam itu berjajar dengan beberapa tokoh muslim lain.

Yang menarik, saya juga menemukan makam seorang Jawa di kompleks makam ini. Namanya sangat priyayi: Kanjeng Gusti Pangeran Ario Sujono. Namanya ditulis dengan ejaan lama, begitu pula kata-kata pelepasan, yang ada di nisannya.

Awalnya saya tidak paham, siapa gerangan orang Jawa, yang sepertinya begitu terhormat, melangkang buana, hingga meninggal di London ini.

Lalu Tuan Google memberi jawaban.

Ternyata Ario Sujono merupakan orang asli Indonesia pertama, dan satu-satunya, yang menjadi menteri di Belanda. Dia seorang muslim. Pangeran Adipati Sujono, begitu nama yang saya temukan di internet, lahir di Tulungagung, Jawa Timur, pada 31 Maret 1886. Dia meninggal di London, pada 5 Januari 1943.

Dari gelar di namanya, Ario Sujono berasal dari bangsawan Jawa. Dia menikahi anak Bupati Pasuruan di masanya. Orang tua Sujono sendiri seorang wedana, pembantu bupati yang membawahi beberapa kecamatan.

Sujono pernah menjadi anggota Volksraad dan Dewan Hindia. Kabarnya, namanya dipromosikan Van Mook, gubernur jenderal terakhir, setelah Jepang menguasai Indonesia.

Pada tahun 1942, dia menjadi menteri tanpa portofolio (saya tidak tahu maksudnya) di pemerintahan pengasingan Belanda di London. Ketika itu, Belanda dikuasai Nazi Jerman.

Ario Sujono dihormati, karena punya pengaruh mendorong kemerdekaan Hindia Belanda. Sayang, suara Sujono terlalu kecil di parlemen. Dia minoritas. Dia sendiri meninggal tahun 1943, dua tahun sebelum Indonesia merdeka.

Jika kita menulis namanya di Google, dia disebut sebagai politikus Belanda. Namun, dia tetap orang pribumi Indonesia pertama, dan satu-satunya, yang menjadi menteri di Belanda.

Bangga? Ya.


20 March 2014

Dinginnya London

London dingin sekali. Sejak pertama datang, saya menggigil kedinginan. Suhu hanya sekitar 11-15°C. Seperti di gunung. Tapi, bagi teman-teman di London, suhu seperti itu termasuk hangat. "Ini enak, tidak terlalu dingin," kata Dono Widiatmoko, orang Indonesia yang menemani saya liputan di London.

Mas Dono, seorang dosen Ilmu Kesehatan Masyarakat di sebuah universitas di Middlesbrough. Dia sudah 12 tahun di Inggris. Kami mengajak alumni Universitas Indonesia ini, menemani kami bertiga menjelajah London yang dingin ini.

Karena dingin, baju harus berlipat. Satu baju hangat tak cukup di badan. Maklum orang tropis. Apalagi, kegiatan saya di London, kebanyakan di luar ruangan. Jadi, saya harus belajar menahan dingin dari orang London.

Meski dingin, London masih banjir wisatawan. Trafalgar Square penuh rombongan pelancong. Anak-anak sekolah membanjiri museum. Leicester Square pun tak kalah ramai. Anak-anak muda berjingkrak di taman, mengharapkan imbalan. Pengamen memetik gitar, menantikan kencrengan.

Sementara, orang-orang London lalu lalang berjalan kaki, mendekap baju hangat. Mereka menyimpan tangan di kantong jaket. Saya tidak tahu, apa berjalan kaki jadi budaya orang London.

Kata Mas Dono, orang London memang banyak menggunakan transportasi umum. Mereka menjangkau tempat kerja dengan subway dan bis umum. Selebihnya, mereka berjalan kaki.

Saya juga menemukan banyak orang menggunakan sepeda. Tapi kencengnya, bo. Jadi, jangan mengira, orang London naik sepeda secara santai. Jalanan London memang lumayan mulus. So, enak saja orang ngebut naik sepeda.

Motor juga ada di London. Kebanyakan motor besar. Dan mereka ngebut di jalanan. Ada sih motor matic seperti Honda Spacy. Tapi jumlahnya tidak banyak.

Memang, London macet di beberapa tempat. Mobil masih memenuhi jalanan London. Tapi macetnya tidak separah Jakarta. Pengendara mobil menghormati lampu merah. Jika pejalan kaki memencet tanda lampu hendak menyeberang, mobil-bahkan sepeda pun berhenti.

Mungkin, karena ini London macet. Mobil berhenti, menghormati penyeberang jalan, hingga antrian memanjang.

Nah, yang repot, susah parkir mobil di London. Mobil tidak boleh sembarangan parkir di pinggir jalan. Tempat parkir khusus tersedia di beberapa bangunan. Itu pun mahal.

Soal ini jadi masalah lain saat liputan di London. Mas Dono yang nyetir mobil, harus mikir cari tempat parkir, saat kami ada janji dengan narasumber.

Yang rada unik, banyak orang London keranjingan jogging. Mereka melakukannya di pagi, siang bahkan malam hari. Di keramaian orang di tengah kota, ada saja orang London jogging.

But, this is a nice London. Saya akan menghabiskan waktu seminggu di sini. Saya hanya butuh lebih banyak baju hangat, dan sedikit kebiasaan baru di London.

18 March 2014

Menuju London

London, ternyata jauh sekali. Saya menghabiskan waktu sekitar 12 jam penerbangan dari Bangkok. Sebelumnya, saya harus menunggu sekitar enam jam di Bandara Suvarnabhumi, Bangkok. Itu belum perjalanan Jakarta-Bangkok, sekitar tiga jam, plus tiga jam perjalanan Bogor-Jakarta via taksi, yang menghabiskan ongkos Rp 300 ribu.

Saat menulis ini, saya sedang berada di atas kawasan Rusia. Masih ada sekitar tiga jam perjalanan lagi menuju London. Dari Bangkok, saya harus menempuh jarak 7869 kilometer. Dari atas langit Rusia ini, saya masih harus menempuh jarak 2103 kilometer lagi.

Bayangkan, waktu sepanjang itu habis di pesawat. Hiburan memang ada di pesawat. Pesawat Boeing 747-400 milik Thai Air yang saya naiki, punya film-film baru, yang belum sempat saya tonton. Saya sempat nonton film 12 Years to Slave, Pacific Rim, Gravity dan Captain Philips.

Agak aneh, di ketinggian 11582 meter di atas permukaan bumi, menonton Gravity yang kesepian dan terasing itu. Tapi, saya harus membunuh waktu. Dua teman saya, Danny Prabowo dan Lydia Wijaya, masih lelap tidurnya.

Sempat salat subuh di atas langit Rusia, saya juga mengintip pagi dari jendela. Semburat oranye menyebar di ufuk sana. Saya jadi berpikir, bagaimana rasanya hidup di ruang angkasa, macam film Gravity yang saya lihat barusan. Sementara, cuaca si luar pesawat -55°C.  Wah.

Tapi saya masih punya sekitar dua jam perjalanan lagi, menuju London. Dan catatan ini juga akan saya unggah ke blog, sekitar dua jam lagi, saat saya di darat. Maklum, di pesawat tidak ada sinyal. Jadi, mari nonton film lagi.

Minoritas Sesaat

Di Bandara Suvarnabhumi, Bangkok, Thailand, saya sempat merasakan susahnya jadi minoritas. Mayoritas orang Thailand beragama Budha, jadi tempat salat minim. Dan mereka, mungkin tidak terbiasa mendengar orang bertanya letak tempat salat.

Menjelang maghrib waktu Bangkok, saya susah mencari musala. Setiap orang yang saya tanya, beragam jawabannya. Sementara, bandara Bangkok ini luasnya bukan main.

Saya berada di gate B waktu itu. Sebenarnya, ada musala di gate C. Tapi musala ini kena renovasi. Musala malah jadi gudang, tempat menampung perkakas renovasi. Maka, saya cari tempat lain.

Tapi ya itu, bandara ini luas sekali, dan orang yang saya tanya tak memberi jawaban jelas. Malah, banyak orang Thailand di Bandara yang tidak bisa bahasa Inggris. Saya pun menjelajah sendiri bandara Suvarnabhumi ini.

Akhirnya, saya menemukan peta bandara. Setelah bertanya ke serombongan jamaah umroh dari Indonesia, saya menemukam musala-MOSLEM PRAYER ROOM-begitu tulisan di atas pintunya. Jaraknya, sekitar 1 kilometer dari gate saya berangkat.

Alhamdulillah.

17 March 2014

The Journey

Hari ini, sebuah perjalanan dimulai. Menjelajah Inggris, Islandia dan Denmark. Semua atas nama niat baik. Semoga, Allah menghendaki, dan menjadikannya bermanfaat buat orang lain.

12 March 2014

Outbond

Hari Minggu pekan lalu, ada undangan outbond dari sekolah Haedar. Beberapa hari sebelumnya, Haedar memang semangat akan ikut acara ini. "Kita mau jalan-jalan," dia bilang ke semua orang.

Bertempat di Kampung Budaya Sindangbarang, Bogor, kami naik motor menuju ke sana. Ternyata lokasinya tak jauh dari rumah kami di Ciomas. Mungkin sekitar 10 kilometer jauhnya. Sedikit di atas bukit, jadi motor harus kuat menanjak. Cuma ada satu tanjakan curam menuju ke sana. Selebihnya, woles saja, lah.

Kampung Budaya Sindangbarang merupakan kawasan, yang mencoba mempertahankan tradisi Sunda. Ada rangkaian kegiatan yang mengenalkan beberapa tradisi Sunda, agar makin dikenal di jaman sekarang. Anda akan menemukan beberapa bangunan mirip lumbung padi, seperti cerita pada buku pelajaran SD dulu.

Tapi, outbond Haedar ini tidak mengenalkan budaya Sunda itu. Mereka hanya bermain saja, layaknya anak TK. Bahkan, orang dewasa seperti kami, yang datang untuk menemani anak-anak, juga ikut bermain. Having fun, lah.


Tapi, sebenarnya acara yang paling seru adalah berburu ikan. Ini kesempatan anak-anak bermain kotor. Bermain lumpur.

Pada sebuah kolam, berukuran sekitar seperempat lapangan bola, sudah tersedia ikan mas, yang sengaja ditebar. Tentu saja, lumpur sudah tersedia. Maka, anak-anak pun menceburkan diri, berburu menangkap ikan.

Saya kira, anak-anak menikmati kemeriahan ini. Ternyata, mereka serius sekali. Hampir tidak ada tawa dari bibir mereka.

Saya kira, anak-anak akan meluncur, menenggelamkan diri, dan saling ciprat lumpur antara mereka. Semacam perang lumpur. Jika itu yang terjadi, saya akan menikmatinya.

Bahkan, saat menangkap ikan, muka anak-anak serius sekali. Mungkin, ini pengalaman pertama mereka.

Apalagi, berburu ikan ternyata tak berlangsung lama. Selang setengah jam, ikan sudah tidak ada. "Ikannya sudah habis," kata Haedar.

Menjelang siang, anak-anak bebersih diri. Habis makan siang, kami pulang, membawa tangkapan ikan tadi.

02 March 2014

Halal-Haram

Polemik halal-haram memang menarik. Namun saya mempelajari satu bagian saja dalam polemik ini, yaitu soal makanan yang bisa berpengaruh dalam hubungan kita dengan Tuhan, versi nonmuslim.

Ini saya kutip dari syafiqhasyim_de's Chirpstories (http://chirpstory.com/li/191618?page=1), yang dibagi seorang teman di laman Facebook. Saya googling nama tersebut, beliau Pengurus Cabang NU di Jerman. Semoga tidak salah.

1. "Saya kutipkan Mary Douglas, antropolog kelas kakap, penulis buku "Purity and Dangers: An Analysis of Concepts of Pollution and Taboo."

2. "holiness and impurity are at opposite poles," (kesucian dan ketidakmurnian berada pada sisi yang berlawanan."

3. Mary Douglas berkata, badan kita butuh steril dari "impurity" jika kita ingin dekat dengan Tuhan.

4. Ahli lain, Douglas Davies, dari proyek riset tentang purity dan impurity Universitas Heidelberg yg besar sekali, berkata, mengapa..

5. orang beragama rewel sekali soal masalah halal& haram karena masalah ini berkaitan dengan soal supernatural presence.

Ternyata, fenomena halal-haram itu universal. Sebab orang-orang yang dikutip itu nonmuslim. Demikian.