Beberapa hari lalu, saya harus menelpon ibu di kampung. Sragen, kampung saya, tidak terlalu jauh dari Gunung Kelud yang meletus kemarin. Karena itu, saya harus tahu keadaan di sana. Kata ibu, Sragen sempat tertutup abu vulkanik. Beruntung, kejadian itu tidak lama. Sragen sudah aman, seperti sedia kala.
Begitulah. Orang tua seperti jadi magnet saat segala sesuatu terjadi. Kita peduli mereka, dan mereka peduli kita. Saat Jakarta banjir, ibu selalu menelpon, mencari kabar. "Piye, aman ora panggonan kerjamu?" (Gimana, aman tempat kerjamu?)
Hal-hal yang sebenarnya terdengar sepele, tapi bisa jadi hal besar bagi beberapa orang.
Saya punya seorang teman. Dia kehilangan orang tua sejak remaja. Merasa berkecukupan, dia merasa bisa melakukan apa saja, tanpa ada yang melarang. Sampai suatu ketika, dia dekat dengan seseorang, dan merasa takjub. Bukan sebab apa, tapi karena seseorang itu melarang dia melakukan ini-itu. Dia rindu ada yang melarang. Dia rindu orang tua. Dia rindu diperhatikan.
Alhamdulillah, ibu saya masih ada. Dan dia masih memberi perhatian pada kami, anaknya yang sudah tidak muda lagi.
Ibu juga sering rindu, saat anak-anak tidak pulang kampung. Dia selalu mencari tahu dan menelpon. "Kok kowe ra nelpon? Mbok nelpon. Yen krungu suaramu, rasane atiku wis ayem." (Kok kamu tidak nelpon? Telpon lah. Kalau mendengar suaramu, hatiku jadi tentram.)
Begitu juga saat ibu tahu saya akan pergi jauh, umrah atau dinas ke luar negeri. Biasanya ibu minta saya pulang kampung dulu.
Dinas ke luar negeri, mungkin hal biasa bagi beberapa orang. Tapi buat ibu saya, itu adalah pengalaman, yang akan memisahkan dia dengan anaknya, dalam beberapa waktu.
Saat saya menelpon ibu itu, ibu sudah tahu saya akan ke dinas luar negeri, dalam waktu dekat ini. Karena itu, ibu bertanya, apa saya menyempatkan diri pulang kampung dulu. Saya belum memberi jawaban. Tapi, demi ibu, sepertinya saya harus menyempatkan diri pulang kampung. Demi ibu.