23 February 2014

Ibu

Beberapa hari lalu, saya harus menelpon ibu di kampung. Sragen, kampung saya, tidak terlalu jauh dari Gunung Kelud yang meletus kemarin. Karena itu, saya harus tahu keadaan di sana. Kata ibu, Sragen sempat tertutup abu vulkanik. Beruntung, kejadian itu tidak lama. Sragen sudah aman, seperti sedia kala.

Begitulah. Orang tua seperti jadi magnet saat segala sesuatu terjadi. Kita peduli mereka, dan mereka peduli kita. Saat Jakarta banjir, ibu selalu menelpon, mencari kabar. "Piye, aman ora panggonan kerjamu?" (Gimana, aman tempat kerjamu?)

Hal-hal yang sebenarnya terdengar sepele, tapi bisa jadi hal besar bagi beberapa orang.

Saya punya seorang teman. Dia kehilangan orang tua sejak remaja. Merasa berkecukupan, dia merasa bisa melakukan apa saja, tanpa ada yang melarang. Sampai suatu ketika, dia dekat dengan seseorang, dan merasa takjub. Bukan sebab apa, tapi karena seseorang itu melarang dia melakukan ini-itu. Dia rindu ada yang melarang. Dia rindu orang tua. Dia rindu diperhatikan.

Alhamdulillah, ibu saya masih ada. Dan dia masih memberi perhatian pada kami, anaknya yang sudah tidak muda lagi.

Ibu juga sering rindu, saat anak-anak tidak pulang kampung. Dia selalu mencari tahu dan menelpon. "Kok kowe ra nelpon? Mbok nelpon. Yen krungu suaramu, rasane atiku wis ayem." (Kok kamu tidak nelpon? Telpon lah. Kalau mendengar suaramu, hatiku jadi tentram.)

Begitu juga saat ibu tahu saya akan pergi jauh, umrah atau dinas ke luar negeri. Biasanya ibu minta saya pulang kampung dulu.

Dinas ke luar negeri, mungkin hal biasa bagi beberapa orang. Tapi buat ibu saya, itu adalah pengalaman, yang akan memisahkan dia dengan anaknya, dalam beberapa waktu.

Saat saya menelpon ibu itu, ibu sudah tahu saya akan ke dinas luar negeri, dalam waktu dekat ini. Karena itu, ibu bertanya, apa saya menyempatkan diri pulang kampung dulu. Saya belum memberi jawaban. Tapi, demi ibu, sepertinya saya harus menyempatkan diri pulang kampung. Demi ibu.

18 February 2014

Ritual Pagi

Mari menggelar ritual pagi.

Ritual pagi adalah bangun pagi jam 04.30, salat subuh, bangunin anak-anak, mandiin mereka, menunggu mereka salat, makan pagi, lalu mengantar anak-anak ke mobil jemputan.

Haekal, anak pertama saya, mendapat giliran pertama. Dia harus berangkat jam 06.00. Jadi, sekitar pukul 05.00, dia harus bangun. Sebab sejam kemudian, sudah ada Carry biru menunggu di depan rumah.

Setengah jam kemudian, giliran Haedar, anak kedua. Dia bangun setelah kakaknya berangkat. Yang satu ini masih kental malesnya. Suka ogah-ogahan. Dengan sedikit rayuan dari Mamanya, Haedar baru mau berangkat mandi.

Pukul 07.30, sudah ada jemputan datang. Sama seperti jemputan kakaknya, biasanya, ada kode klakson saat mobil datang. Haedar hafal bunyi klakson mobil jemputannya. 

Jemputan Haedar berupa mobil angkot hijau khas Bogor. Haedar hobi duduk di dekat sopir. Teman-temannya sudah paham kebiasaan itu. Karena itu, mereka tidak duduk di sebelah sopir. Itu jatah Haedar.

Setelah anak-anak berangkat, giliran saya dan istri bersiap berangkat kerja. Begitu setiap hari, kecuali Sabtu-Minggu.

16 February 2014

Merapi

Beberapa pesan, masih datang dengan misteriusnya. Seperti saat datang pesan dari seseorang. Dia semacam perantara. Dia bilang ke saya, seorang kakek datang padanya. Sang kakek berpesan untuk saya. Dia bilang, "Ampun ngantos ketipu kaleh mripat, kaleh piantun enggal." Artinya, jangan tertipu oleh pandangan mata, oleh orang baru.

Sejenak, saya tertegun. Apa ini maksud? Tapi begitulah, kadang pesan datang, dengan maksud yang bisa dipahami belakangan.

Lalu, pesan sang kakek berlanjut. Dia bilang, "Orang baik, harus bisa mendengar dan memahami pesan baik, meski pesan itu datang dari bukan orang baik."

Pesan yang dalam. Lalu saya bertanya, "Kakek itu datang dari mana?" Seseorang itu bilang, "Dari Merapi." Wallahu a'lam.

Posted via Blogaway