29 February 2012

Sakit

Haedar, anak bungsu saya sedang sakit. Sejak semalam batuknya makin menjadi. Kadang pakai muntah. Badannya panas pula.

Nah, pagi tadi, dia terlihat kuyu. Tak ada lagi muka tengil di wajahnya. Layu. Biasanya, saat pagi, dia sudah lari ke sana kemari sehabis mandi. Usai melepas kakaknya, Haekal, naik mobil jemputan sekolah pagi, dia ikut saya keliling gang. Ini ritual pagi, sebelum saya dan istri berangkat ke kantor.

Tapi, gara-gara Haedar sakit, istri saya bolos kerja hari ini. Maklum, semalam dia juga begadang, sebab Haedar tidak bisa tidur tanpa dipeluk. Pagi tadi, Haedar juga sempat menyodorkan selendang gendong ke saya. Tumben dia minta gendong pakai selendang.

Saya pun memasang selendang, dan menggendongnya. Haedar menyandarkan kepala di dada. Saya mendekapnya. Panas. Kakaknya masih sempat menggoda. Haedar berontak, meski badannya lunglai. Kakaknya tetap menggoda. Beruntung Haedar masih mau mandi pagi, dengan badan lemas, tentunya.

Sebelum berangkat kantor, saya melihat Haedar tidur. Ada lelah di mukanya. Kasihan. Saya berharap mendengar tawa, saat saya pulang kerja nanti. Tapi ini hari Rabu. Ada rapat yang biasa selesai sampai malam. Pasti Haedar sudah tidur saat saya pulang. Tapi tak apa. Setidaknya, saya masih bisa melihatnya lelap, di sebelah saya malam nanti.

13 February 2012

Sendirian

Saya duduk di ruang tamu rumah di Sragen. Saudara dari Cilacap baru saja pulang. Ponakan dari Papua yang tinggal bersama ibu, sudah berangkat sekolah. Tiba-tiba, ibu masuk ruangan dari pintu kebun. Sesengukan. "Sekarang saya hidup sendirian," katanya. Dia menangis kemudian.

Sepeninggal simbah, ibu memang terpukul. Ada sepi mengancam hidupnya. Dalam dua tahun terakhir, ibu sudah kehilangan dua orang dekatnya. Dekat, dalam arti harfiah dan batin, sebab mereka tinggal serumah. Pada Juni 2010, bapak meninggal. Dua hari lalu, giliran simbah meninggalkan ibu sendirian.

Selama ini, memang ada kakak yang menemani ibu hidup di Sragen. Ada juga cucu yang bisa jadi hiburan. Kakak yang tinggal di Boyolali atau Wonogiri juga sering bertandang. Tapi, tetap saja, jejak kematian yang dia alami selama dua tahun ini, membuat ibu ngeri pada sepi. Ibu seperti belum siap hidup sendiri.

Saya sendiri tidak bisa menghibur. Membayangkan ibu bakal hidup dikungkung sepi, malah membuat saya merenung. Seperti mati, menjadi tua adalah niscaya. Kita yang muda tinggal menunggu giliran saja. Saya berpikir, akan jadi apa hidup tua saya nanti.

Kebetulan?

Simbah meninggal dua hari lalu. Kebetulan saya sedang tugas di Semarang. Jarak Semarang ke rumah Sragen, tentu lebih dekat daripada Bogor-Sragen.

Ini kejadian unik kedua. Sebelumnya, saat bapak meninggal Juni 2010 lalu, saya juga sedang tugas di Surabaya. Seperti ada kuasa Tuhan, yang mendekatkan saya ke rumah, saat ada kejadian istimewa tersebut. Kebetulan?

Kematian simbah sendiri, sebenarnya termasuk cepat. Dua hari sebelum meninggal, ibu mengirim pesan, simbah sakit. Sehari kemudian, ibu memberi kabar, simbah masuk rumah sakit. Sejak mendengar kabar itu, saya sudah punya niat mampir ke Sragen, selepas pekerjaan di Semarang selesai.

Tapi, pagi sebelum berangkat ke Sragen, justru kakak mengirim kabar, simbah kritis. Beberapa menit kemudian, ganti kabar simbah meninggal yang saya dengar.

Kematian simbah sendiri bergelimang isyarat gaib, dan cerita kebetulan. Sebulan sebelum simbah meninggal, saya mendapat bisikan agar pulang ke Sragen. "Sudah lama tidak pulang ke rumah wetan (timur). Tengoklah orang tuamu," begitu bisikan tersebut. Saya baru paham isyarat ini setelah simbah meninggal.

Dalam perjalanan dari Semarang, saya sempat mampir makan siang. Karena waktu mepet, saya langsung menuju tempat pemakaman di daerah Kaliwuluh, Gemolong. Keluar dari tempat makan, saya malah menemukan rombongan lain dari Semarang. Kebetulan, kami sama-sama tidak tahu lokasi pemakaman. Ya sudah, akhirnya kami menunggu rombongan, yang membawa jenazah simbah dari rumah. Akhirnya, kami bisa barengan menuju tempat pemakaman, yang sebelumnya tidak kami kenal. Kebetulan?

09 February 2012

Tua

Apa yang terjadi di masa tua? Saya bisa mengetahuinya sedikit. Seorang tua terbaring di ranjang, kurus, mengidap komplikasi penyakit dan satu kaki mati rasa. Anak-istri meratap.

Memang, ini pengalaman tak mengasyikkan. Mengetahui masa depan, pada bagian yang tak menyenangkan. Saya jadi bimbang, dan membayangkan hidup di masa itu. Belum sejumlah pertanyaan, yang menggantung karena informasi mengejutkan ini.

Bagi saya, tua adalah niscaya. Yang membuat saya tak bahagia, tentu informasi tentang ratapan anak-istri itu. Apa jadinya hidup mereka, menemukan bapaknya terkulai di ranjang, kurus, dengan satu kaki mati rasa. Meski saya sebenarnya juga mendapat pesan tambahan--nasihat persisnya, agar saya menjaga makanan dan juga olah raga. Terdengar masuk akal.

Tentu muncul pertanyaan, ini info dari siapa? Saya tidak bisa mengatakannya. Yang jelas, saya percaya rahasia Tuhan. Dia menyuguhkan bagian-bagian tanpa penjelasan, dan membiarkan saya sendiri mencari catatan kaki. Termasuk informasi tentang masa tua saya ini.