27 December 2011

Pak Rohman

Saya mengenalnya sebagai orang tua yang lucu. Beranak tiga, driver langganan liputan ini sering membuat kami tertawa. Tingkahnya ada-ada saja. Maka, kami menyebutnya Bocah Tua Nakal.

Sebagai orang tua, dia tidak jaim melayani kami, kru teve yang muda, banyak tingkah dan manja. Dia setia menemani kesana-kemari, sambil bercanda sekehendak hati. Di luar pekerjaannya bawa mobil, dia biasa bantu liputan, sibuk menerangi dengan accu light, yang lumayan berat itu. Dia punya dedikasi.

Belakangan, ada yang berubah pada dirinya. Dia jadi agak alim, rajin salat, meski lucunya belum hilang. "Kemarin dia tanya saya, bagaimana cara salat tahajud," kata Hakim Bawazier, narasumber di program saya.

Yang saya tahu, Pak Rohman memang akrab dengan Ki Jarot, belakangan ini. Dialah saksi beberapa kejadian gaib, yang melibatkan Pak Engkis-Ki Jarot, dan saya. Pak Engkis sering tak sadar, saat Ki Jarot merasuk. Padahal, Pak Rohman dan Pak Engkis sering jadi utusan "misi-misi khusus." Tak heran, Pak Rohman jadi semacam penghubung, juru bicara jika ada pesan-pesan dari alam lain.

Dia memang sering cerita ke saya, beberapa pengalaman spiritual yang dia alami bersama Ki Jarot. Sepertinya, pengalaman itu membekas di hatinya. Awalnya, saya agak kaget, mendengar cerita penuh takjub, dari orang yang biasa berkelakar macam anak kecil. Kadang, dia malah tidak bisa mengungkapkan pengalaman gaibnya. "Pokoknya, aneh, deh. Tidak bisa diceritakan," kata dia suatu waktu. Jika sudah begini, saya menghargai kebingungannya. Tak bertanya, saya jadi pendengar saja.

Kemudian, dia mulai cerita ada yang berubah pada dirinya, juga keluarganya. Kata dia, istri jadi lebih perhatian, meski rejeki pas-pasan. Dia sendiri jadi lebih ikhlas menerima keadaan. Saya sendiri, sebenarnya menganggap Pak Rohman nriman. Bisa menerima hidup apa adanya. Jadi, saya tidak tahu, apa beda saat sebelum dan sesudah dia akrab dengan Ki Jarot. Yang jelas, ya itu, dia sendiri merasa beda dengan keadaan dirinya. "Ada semacam berkah," dia bilang.

Sejak itu, saya jadi berpikir, ternyata Ki Jarot yang tak kasat mata, bisa membawa pengaruh kebaikan juga. Wallahu a'lam.

26 December 2011

SMS

Hal aneh datang lagi. Sebuah pesan masuk ke handphone saya. Tanpa nama. Tapi saya mengenal nada tulis, dan gaya bahasa yang digunakan. Ya, dia Ki Jarot. Inti pesan, mengingatkan saya agar rajin puasa Senin-Kamis dan salat tahajud. "Insya Allah, Allah mengabulkan permintaan," begitu bunyi pesannya.

Masalahnya, Ki Jarot itu bukan manusia. Mana mungkin bisa mengganti kartu SIM, menggunakan telpon, dan mengirim pesan. Uaneh, kata saya.

Saya tanya ke Pak Engkis, yang biasa jadi "kurungan" makhluk ini. Dia malah bingung. Dia mengaku hanya menerima "pesan," agar saya menyimpan nomor itu. "Itu nomor Aki," kata dia menirukan bisikan itu. "Saya malah tidak tahu nomornya." Pak Engkis tambah bingung.

Saya cek ke Pak Rohman, driver langganan kami, yang cukup akrab dengan Ki Jarot. Ternyata, dia juga bingung. Dia menerima pesan dari seseorang, dengan nomor yang tidak dia kenal. Pesan, gaya bicara, dan gaya bahasanya dia kenal. Siapa lagi kalau bukan Ki Jarot.

Kemudian, saat saya berusaha mencari tahu, Pak Engkis laporan, handphone yang dia punya mulai aneh. Kedap-kedip sendiri. Jadi tambah aneh. Tapi saya tersenyum dalam hati. Dunia gaib memang penuh misteri. Komentar sama dilontarkan Pak Engkis dan Pak Rohman. "Sudah tidak heran," kata Pak Rohman.

Pernah, saat kami liputan di Banten, ada sosok makhluk seperti anak kecil masuk ke tubuh Pak Engkis. Ketika itu, posisi kami di dalam mobil. Tak disangka Pak Engkis yang tidak sadar itu, sudah memegang permen lolipop. Pertanyaannya, dari mana permen itu datang? Makanya, kami seperti maklum dengan hal aneh di sekitar kami.

Selamat datang di Dua Dunia.

24 December 2011

Masjid

Haekal, anak sulung saya yang berusia lima tahun, punya hobi berkunjung ke masjid. Saat jalan-jalan pakai motor misalnya, instingnya mengenal menara, kubah atau identitas masjid lain yang dia temui. Dia akan mengingat letak masjid tersebut. Kali lain, saat melewati jalan itu, dia mengajak saya mampir. Sekedar berhenti, atau masuk menyambangi.

Tahu yang dia lakukan di dalam masjid? Kadang dia sekedar menengok ruangan, naik tangga, atau menyalakan kipas, yang biasa ada di dalam masjid. Dia suka usil, memang. Mengutak-utik saklar kipas angin, sekadar mencoba, ini kipas nyala tidak.

Paling, saya hanya menunggu di luar. Sebab, kadang dia memperdaya saya. Misal, saya ajak dia beli koran. Di tengah jalan, dia membajak saya mampir ke masjid yang pernah dia temui. Turun dari motor, dia langsung masuk masjid. Saya, bercelana pendek, hanya bisa menunggu di luar. Saya biarkan orang-orang sekitar masjid, memandangi anak saya blusukan dalam masjid. Begitulah dia.

Haekal sering bertanya nama masjid. Kadang saya tidak sempat mengingat nama. Masalahnya, sering saya tidak memperhatikan ada masjid di jalan yang kami temui.

Pernah saya menemukan sebuah masjid bernama Masjid Jami As-Syafi'iyah. Masjidnya lumayan besar. Dan, sepertinya dia merekam nama itu. Setiap dia menemukan masjid, bertanya namanya, tapi saya tidak menjawab, dia mengarang sebuah nama. Masjid Jami apa lah, yang penting ada kata "jami."

Rekaman tentang masjid juga dia tuangkan dalam lukisan. Entah lukisan di kertas, atau di tembok rumah kami. Pernak-pernik masjid ada di lukisannya. Menara, beduk, kubah, lafaz Allah di atas kubah, atau jalanan di depan masjid. Dia punya cerita di setiap lukisan masjid yang dia bikin. Kadang saya menyepelekan cerita itu. Tapi, saya sadar, dia melukis masjid berdasar kerangka cerita yang dia ingat.

Belakangan, Haekal punya mimpi: suatu saat dia mau bikin masjid. Dia sudah menyiapkan nama. Tidak hanya satu nama. Sampai saya tidak hapal. Yang jelas, nama itu ngawur. Mencuplik nama entah dari mana. Satu yang saya ingat, setiap nama memakai kata "jami."

21 December 2011

Aneh

Pekerjaan saya memang aneh, mewawancarai makhluk gaib, yang masuk ke tubuh mediator. Saking sering berinteraksi, beberapa makhluk seperti belajar tentang pekerjaan saya. Ki Jarot, misalnya. Tak heran, setelah beberapa kali dialog, pesannya pun bernuansa liputan. "Manusia pun sedang diliput oleh khadam, yaitu malaikat Rakib dan Atid. Hasilnya Allah yang menentukan. Mitosnya kebaikan dan keburukan."

Saya agak kaget dengan pesan itu. Analoginya pas bener.

Kali lain, Ki Jarot juga memberi wejangan. Dia paham pekerjaan saya bersinggungan dengan hal gaib. Makanya, dia wanti-wanti saya. "Hati-hati, pekerjaan Akang berhubungan dengan gaib. Kalau manusia kan kelihatan, kalau gaib kan tidak," kata dia suatu waktu.

Ngomong-ngomong soal wejangan, banyak juga makhluk yang datang selintas, sekedar menyampaikan pesan. Suatu malam, datang makhluk mengaku dari Pantai Selatan. Dia masuk ke raga Pak Engkis. Lemah lembut, dia berpesan, "Hati-hati. Tahun depan akan banyak bahaya dari gunung dan laut." Tak lama, dia kemudian pergi.

Lain waktu, giliran datang seorang tua. Tangannya seperti memilin tasbih. Dia juga memberi wejangan. Singkat. "Kalian, banyaklah istighfar." Ketika saya tanya jati diri, dia hanya menjawab, "Pernah ke Cirebon? Datanglah ke makam saya. Saya Sunan Gunung Jati." Setelah itu, dia mengucap salam.

Soal kebenaran, wallahu a'lam. Yang jelas, saya meyakini, roh orang meninggal tidak akan datang kembali. Tapi, beberapa manusia memang diberi karunia kesalehan, hingga membuat bangsa jin tertarik padanya. Kadang, jin mengaku sebagai manusia yang dia kagumi itu. Sekali lagi, wallahu a'lam.

19 December 2011

Tes

Ki Jarot mengetes saya. Dia berniat memberi saya "sesuatu." Tapi dia mengajukan satu syarat: saya harus berkurban seekor kambing. Saya sempat bimbang. Kok, begini caranya? Beruntung, saya ingat, cara begini tidak benar. Melawan aqidah. Maka saya menolak. Eh, ternyata dia malah tertawa senang. "Bagus. Itu tadi cuma ngetes saja."

Begitulah. Ternyata, makhluk gaib senang menguji kita. Mereka bisa melihat kita bingung, panik, memikirkan langkah atas ujian itu. Bahkan, kata Aki yang mengaku dari Garut ini, mereka juga meledek kita. "Manusia bodoh, kalau sampai menuruti syarat itu," begitu katanya. Saya memilih tidak mau dianggap bodoh.

Satu hal yang saya pelajari dari program saya, memberi sesuatu ke bangsa jin itu menyalahi aqidah. Itu sebab Islam melarang tumbal, sesajen dan segala bentuk lain. Narasumber saya mengingatkan pelajaran ini dalam setiap episode. Saya pun menyerapnya. Bagi saya, ternyata, gaib itu ada ilmunya, ada syariatnya. 

Ilmu itu yang saya bilang ke Ki Jarot. Saya bilang, agama tidak menghendaki cara kurban seperti itu. Kalau mau berkurban, niatnya harus untuk ibadah. Bukan untuk menarik benda gaib. Itu menyalahi aqidah. Tak disangka, dia malah mengacungkan jempol buat saya. Itu pelajaran, agar tidak mudah terpengaruh ucapan orang lain, dia bilang.

Singkat cerita, saya akhirnya mendapat "sesuatu" itu. Tanpa syarat  apa pun. Saya memang menolak menerima, jika pakai syarat ini-itu. Bahaya buat aqidah. Tapi, Ki Jarot menitipkan satu pesan, supaya saya rajin puasa, salat tahajud dan dhuha. "Insya Allah, semua keinginan terkabul." Amin.

15 December 2011

Janji

Saya berbincang dengan beberapa makhluk, yang masuk ke raga mediator. Dari mereka, saya jadi tahu, dunia mereka seperti dunia kita. Ada gosip, juga guyonan. Manusiawi, lah. Ki Jarot salah satu makhluk yang suka guyonan. Darinya, saya bahkan bisa bergosip. Hubungan suka-tidak suka beberapa kawan. Ada-ada saja.

Yang lucu, kemarin saya sempat "janjian." Yang empunya badan--Pak Engkis, kirim pesan pendek. "Pak, segera telpon. Ada yang mau bicara." Saya paham isyarat ini. Saya pun menelpon. Tenyata, ada suara Ki Jarot di ujung telpon. Aneh? Ya, saya sendiri tidak percaya. Ini makhluk canggih juga, tahu handphone segala.

Saat bertemu Pak Engkis, saya tanya soal telepon Ki Jarot itu. Dia bilang, saat itu dia sedang ada kerja di Jakarta. Pas Ki Jarot masuk ke tubuhnya, orang-orang sekitar kabur. "Ngapain, Pak. Kok, jadi bungkuk. Suaranya juga berubah." Pak Engkis malah bengong. "Emang ada apa?" Dia selalu tak tahu apa yang terjadi, setelah makhluk merasuk tubuhnya.

Belakangan ini, saya makin sering berkomunikasi dengan Ki Jarot. Makhluk tak wujud rupa, yang tiba-tiba jadi dekat seperti saudara. Kami cuma bisa berkomunikasi lewat Pak Engkis. Dialah penyambung lidah Ki Jarot. Komunikasinya bisa lewat apa saja. Dialog langsung, via pesan pendek, atau telpon.

Terakhir, kemarin ada pesan pendek dari Pak Engkis, "Saya titipkan bangsaku padamu." Dia bilang, itu pesan dari Ki Jarot. Saya sendiri tak paham maksudnya.

Gusti Allah Maha Tahu Segala.

08 December 2011

Pak Engkis

Pak Engkis pulang pagi tadi. Selama ini, dia jadi perantara kami berdialog dengan beberapa mahluk. Yang paling sering tentu Ki Jarot, mahluk yang hanya mau masuk ke tubuh dia. Belakangan, saat Ki Jarot "ada keperluan lain," beberapa anak buah Ki Jarot datang melalui raga Pak Engkis. Sebutlah Ki Braja, Ki Bongkok atau Si Kutrat.

Pada liputan di Banten ini, Ki Jarot sering berinteraksi dengan kami. Kadang dia datang tiba-tiba, macam orang berpapasan, terus menyapa. Sesantai itu. Seperti sore kemarin. Usai Pak Engkis mandi sore, Ki Jarot masuk dan  tertawa. Dia heran, mengapa kru jadi takut bicara dengan Pak Engkis. Seperti menjauh. "Kan mahluk yang jahat sudah tidak ada. Mengapa takut," kata dia tertawa. Kami merasa makin akrab saja dengan mahluk ini. Setelah itu, Ki Jarot malah jadi "tempat konsultasi." Ada-ada saja.

Dari Ki Jarot, saya jadi tahu sisi pribadi Pak Engkis. Padahal, saat sadar, Pak Engkis jarang bicara dengan saya. Justru Ki Jarot banyak mengungkap sifat, dan rekam jejak Pak Engkis. Pun, masalah pribadi Pak Engkis. Awalnya saya heran. Belakangan, beberapa kru tahu masalah Pak Engkis. Masalah itu persis dengan cerita Ki Jarot. Gusti Allah Pemegang Segala Rahasia Gaib.

Kami pun jadi terbiasa, baik dengan Ki Jarot, maupun Pak Engkis.

Mungkin, karena ikatan batin ini, dia sedih saat pulang pagi tadi. Beberapa kali dia kirim pesan pendek, saat di perjalanan pulang. Dia heran, tak biasa dia merasa sedih begini. "Saya tadi mau nangis. Berat kaki saya meninggalkan bapak. Kenapa, ya?"

Saya tidak tahu jawabannya.

03 December 2011

Ki Jarot

Satu hal yang membuat saya semakin takjub adalah segala bentuk keanehan, yang makin lama menjadi biasa. Ini contohnya.

Pada sebuah liputan di sebuah makam tua di Ranggagading, Kabupaten Bogor, kami bertemu dengan mahluk bernama Ki Jarot. Saat itu, saya tidak ikut liputan, sebab harus bertugas di editan. Seperti biasa, kami mengorek informasi dari setiap mahluk yang masuk ke raga mediator.

Ternyata, mahluk ini berkamuflase. Saat teman-teman kembali ke penginapan, mahluk ini masuk lagi ke tubuh mediator. Dia cerita, informasi yang dia sampaikan di lokasi liputan, berbeda dengan informasi yang dia utarakan di penginapan. Namanya pun bukan Ki Jarot, namun Ki Santang.

Sejak itu, mahluk tersebut sering menyambangi kami, saat liputan. Di mana pun kami berada. Sejauh ini, dia selalu datang, selama kami liputan di daerah Jawa Barat. Kuncinya, dia hanya mau masuk ke satu tubuh: Mang Engkis—nama lengkapnya Kiswoyo, tubuh pertama dia masuk dulu di Ranggagading.

Semakin lama, dia makin akrab dengan kami. Pada sebuah “perjumpaan” di Banjar, Jawa Barat, dia berjanji akan membantu kami. Itu sebab dia selalu datang, saat kami liputan. Seperti saat kami liputan di Labuan, Banten, kali ini.

Saya memang penasaran, siapa sebenarnya Ki Jarot ini. Dia terlalu sering menyambangi kami. Di Bogor, Cipularang, Banjar-Ciamis, dan sekarang Banten. Saat masuk ke badan Mang Engkis di Banjar-Ciamis, saya memang sempat bertanya, siapa dia sebenarnya. Dia hanya menjawab, datang dari sebuah gunung di Garut, Jawa Barat. Dia berjanji, suatu saat akan mengungkapkan jati diri, jika kami datang ke Garut. Tentu dengan membawa badan Mang Engkis, raga yang dia suka masuki.

Di Labuan, Banten—sebulan setelah kami pulang dari Banjar-Ciamis, dia seperti menangkap kegundahan saya. Saya sedang berbincang dengan beberapa kru, tiba-tiba dia masuk ke tubuh Mang Engkis—yang kebetulan datang bersama kami. Dia lalu mengajak saya dialog. Empat Mata. Semua kru yang ada di ruangan, dia suruh pergi.

Sejak itu, setiap datang, dia selalu mencari saya. Dia memanggil saya Akang. Kemarin malam, dia berjanji datang ke saya. Tapi dia tidak jadi datang. Dia hanya berkirim pesan—masih lewat tubuh Mang Engkis, jika dia tidak bisa menepati janji, sebab ada “urusan” lain.

Malam ini, tiba-tiba dia datang. Yang rada beda, dia mengutus sesosok mahluk, namanya Si Kutrat. Dia mengaku bawahan Abah—sebutan Ki Jarot, yang baru saya dengar. “Abah sedang berada di sebuah gua di Lampung,” kata Kutrat.

Kutrat membawa sebuah titipan dari Abah. Kru lain jadi saksi, dia memberikan sesuatu ke saya. Sesuatu itu sempat jatuh, lalu dia menutupinya. “Jangan kasih tahu siapa-siapa. Abah pesan, hadiah untuk Kang Komet,” katanya. Pada Jumat Kliwon, kata Kutrat, benda itu akan berubah wujud.

Terus terang saya agak bimbang. Saya tidak pernah menerima pemberian benda, dari siapa pun. Kali ini, saya malah dapat langsung dari mahluk, yang saya tidak mengenal, bahkan sekedar tahu wujud aslinya.

Kru lain malah tertawa, sebab saya dapat oleh-oleh dari Abah. Mereka berebut menawar. “Buat saya saja,” kata salah satu diantara mereka. Sementara saya malah terkesima. Satu pertanyaan di kepala, mengapa Abah selalu menyebut nama saya, hingga memberi hadiah segala.
                                                                                                                                  
Sekarang, ada keinginan kuat dalam diri saya: membuat satu episode tentang Ki Jarot.

Catatan Liputan


Dua tahun terakhir, hidup saya dikelilingi dunia tak terduga. Dunia yang tidak pernah terpikir, saya akan hidup di dalamnya. Juga, tak terbersit pikiran, saya akan bergaul dengan orang-orang, yang paham dan berkecimpung di dalamnya. Dunia itu bernama dunia gaib.

Semua berawal dari sebuah program mistik, di stasiun televisi tempat saya bekerja. Awalnya saya ogah-ogahan mengerjakan program ini. Saat itu, naluri saya berkata, program seperti ini tidak mendidik. Namun, apa boleh buat, saya punya tanggung jawab menjaga program tersebut.

Sebenarnya saya tidak tahu persis, kapan saya bergabung dengan program tersebut. Maklum, program ini pernah dua kali putus tayang, saat saya bergabung.

Ternyata, program tersebut malah bertahan sampai sekarang. Data lembaga pemeringkat AC Nielsen menunjukkan, penonton suka program ini.

Namanya bergaul dengan dunia gaib, makin lama saya jadi paham dunia ini. Tentu dalam kapasitas saya sebagai orang awam, yang dipaksa masuk dunia tersebut. Maksudnya, saya membatasi diri sekedar melakukan pekerjaan saya sebagai wartawan: meliput. Saya tidak belajar ilmu tertentu, agar bisa melihat makhluk gaib, misalnya. Tidak, saya tidak melakukan itu.

Menempatkan diri “sekedar” menjadi peliput, ternyata tidak membuat kebal terhadap hal-hal gaib. Mungkin, karena bersinggungan saban hari, makin lama saya jadi sensitif. Jika dulu saya tak bisa melihat, atau mengabaikan hal-hal yang sebenarnya penampakan makhluk gaib—seperti bayangan, sekarang jadi biasa. Meski saya tak pernah melihat wujud asli. Tidak pernah berharap.

Ini belum termasuk cerita negeri antah-berantah, tentang dunia jin yang mirip dongeng. Seperti halnya kerajaan, ratu, siluman dan wujud mereka yang bercampur manusia-hewan. Khusus cerita-cerita ini, tentu bukan saya yang mengalami. Ini cerita para narasumber, dan beberapa kawan yang mampu menembus dunia gaib itu.

Saya jadi berpikir, untuk mencatat cerita liputan saya. Tulisan ini baru perkenalan.