29 November 2011

Pantai

Saya sedang berada di Carita, Banten, melakukan dinas luar kota, yang biasa saya lakukan setiap bulan. Seperti lazimnya seorang bapak, saya menelpon istri dan anak, yang saya tinggalkan di rumah. Kali ini, anak pertama saya--Haekal, mengangkat telpon.

Awalnya, semua tampak ceria. Dia bercerita tentang kado ulang tahun--dia ulang tahun pada 5 November: sebuah buku cerita dari Mamanya. Ada suara renyah di ujung telepon. Juga suara Mamanya. Sepertinya, anak saya sedang bercanda saat menelpon. Dia terdengar riang.

Lalu, dengan tertawa, dia bertanya, "Papa lagi dimana?" Nampaknya dia curiga dengan suara gemuruh ombak di belakang saya. "Papa sedang di pantai." Tiba-tiba, Haekal merengek, "Ikut, ikut!" Ada suara tangis di sana. Saya kira masih bercanda.

Sekarang ganti suara Mamanya di ujung telpon. Dia bilang, anak saya sesenggukan, tahu Papanya ada di pantai. Anak saya tak mau melanjutkan percakapan. Dia menangis. "Papa sih, janji ngajak ke pantai," istri saya menyalahkan.

Masih memegang telpon di tangan, saya melamun. Saya mungkin lupa, telah berjanji mengajak anak ke pantai. Saya sungguh tak ingat. Tapi anak saya merekam janji itu.

Hari itu mengingatkan saya satu hal, anak adalah pengingat janji yang telaten. Dan pekerjaan membuat kita jadi tukang ingkar. Lupa menjadi dalihnya.

19 November 2011

Sungai

Hari Minggu lalu, anak sulung saya--Haekal, saya ajak main ke sungai dekat rumah. Kompleks perumahan kami di Bogor, kebetulan dikelilingi sungai. Sungai itu tidak jernih benar. Sebab, meski berbau kota, sungai masih jadi tempat kegiatan rumah tangga, semisal mencuci baju, juga jadi tempat anak-anak mandi.

Ternyata, main di sungai jadi hal baru baginya. Selama ini, saya tidak pernah mengajaknya main ke sungai, karena sungai tersebut kurang sehat. Warna air coklat, dan sampah mengiringi garis sungai. Tidak seperti sungai-sungai yang saya temukan di pedalaman, saat saya liputan ke daerah. Maka, saya ogah mengajak anak saya main ke sungai.

Tak disangka, begitu turun ke sungai, dia senang bukan main. Berkecipak air sungai yang coklat, meski saya merasa tak nyaman.

"Boleh mandi?" dia bertanya dengan lugunya..
"Tidak, sungai ini kotor."
"Dimana sungai yang bersih?"
"Nanti, kita cari yang bersih, tapi jauh dari rumah."

Saya ajak dia mengelilingi sungai, sampai ujung komplek. Dia terus bertanya, tentang sungai bersih buat bermain. Di ujung kampung, dia menemukan anak-anak--berseragam merah putih, asyik senda gurau bermain air di bebatuan. Saya diam.

"Kok, anak-anak itu bermain air." Saya masih diam. Saya mengalihkan perhatian, dengan mengajaknya berjalan lebih jauh. Tapi dia masih mengajak turun ke sungai lagi.

"Aa suka sungai."
"Kenapa?"
"Kan ada lagunya. 'Mandi di sungai, turun ke sawah .."

Menjelang siang kami pulang. Saya ke rumah, dia ke rumah neneknya, dekat rumah kami. Malam hari, badannya panas. Belakangan, saat kami bawa ke dokter, kami baru tahu Haekal kena campak. Bukan karena main di sungai, tapi karena ada beberapa teman di sekolah, yang sudah sakit sebelumnya. Mungkin. Sempat dua hari ke sekolah, Haekal absen beberapa hari kemudian. Sampai hari ini.