Kompas, 22 April 2010
Hubungan diplomatik antara Republik Indonesia dan Republik Rakyat China yang berusia 60 tahun pada 13 April 2010 tidak selalu berjalan mulus. Hubungan itu sempat membeku menyusul peristiwa yang dikenal luas dengan nama Gerakan 30 September 1965.
Anggapan bahwa RRC berada di belakang Gerakan 30 September 1965 itu membuat pemerintahan Orde Baru yang dipimpin Presiden Soeharto membekukan hubungan diplomatik kedua negara pada tanggal 30 Oktober 1967. Perdagangan langsung pun dihentikan.
Hubungan kedua negara bisa dikatakan terputus total. Padahal, sebelum Gerakan 30 September 1965, hubungan kedua negara sangat dekat. Perdana Menteri (PM) RRC Zhou Enlai hadir dalam Konferensi Asia Afrika di Bandung, 18-24 April 1955. Presiden Soekarno pun berkunjung ke RRC tanggal 30 September 1956.
Walaupun hubungan diplomatik dibekukan, Indonesia tetap menganut politik luar negeri satu China, yakni RRC. Sebagai negara yang menganut politik luar negeri yang bebas aktif dan nonblok, Indonesia tidak mengakui Taiwan yang menamakan diri Republic of China. Di mata Indonesia, Taiwan bagian dari RRC.
Dalam kaitan itu pulalah Indonesia tidak menentang masuknya RRC ke dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 25 Oktober 1971. Bahkan, RRC menjadi anggota PBB dalam sidang yang dipimpin Menteri Luar Negeri Adam Malik.
Masuknya kelompok reformis di bawah kepemimpinan Deng Xiaoping ke panggung kekuasaan tahun 1970-an, muncul suara-suara di Indonesia yang ingin hubungan diplomatik dengan RRC dicairkan. Menlu Adam Malik dan penggantinya, Mochtar Kusumaatmadja, termasuk di antaranya.
Kedua menlu itu menganggap pencairan kembali hubungan diplomatik dengan RRC penting bagi citra Indonesia sebagai salah satu negara pelopor berdirinya Gerakan Nonblok.
Oleh karena pemerintahan Orde Baru belum siap untuk mencairkan kembali hubungan diplomatiknya dengan RRC, dijajakilah untuk membuka kembali perdagangan langsung dengan RRC. Soalnya, perdagangan RI-RRC melalui negara ketiga hanya menguntungkan negara ketiga tersebut. Pemerintah RI pun menganggap hubungan dagang langsung dengan RRC itu tidak akan membahayakan dari segi ideologi karena aparat keamanan RI mampu mengatasinya.
Jalan ke arah pembukaan kembali perdagangan langsung RI-RRC itu diawali penandatanganan nota kesepahaman (memorandum of understanding/MOU) tentang hubungan dagang langsung RI-RRC oleh Kadin Indonesia dan China Council for the Promotion of International Trade (CCPIT) di Hotel Shangri-La, Singapura, 5 Juli 1985. MOU itu ditandatangani Ketua Kadin Indonesia Sukamdani Sahid Gitosardjono dan Ketua CCPIT Wang Yao Ting.
Dengan pembukaan kembali perdagangan langsung, hubungan kedua negara yang sudah 18 tahun membeku tidak serta-merta mencair. Bahkan, pada 23 April 1988, Mensesneg Moerdiono, selaku koordinator hubungan dagang langsung RI-RRC, mengatakan belum waktunya RI-RRC membuka kantor perwakilan dagang di kedua negara. Selain faktor ekonomi, pertimbangan itu juga didasari berbagai aspek, seperti politik luar negeri dan segi intelijen.
Berlangsung Cepat
Perkembangan berlangsung sangat cepat. Karena RRC mengakomodasi hampir semua persyaratan yang diajukan Presiden Soeharto, ia menugaskan Mensesneg Moerdiono merintis perbaikan hubungan diplomatik dengan RRC. Tanggal 23 Februari 1989, ketika Presiden Soeharto berkunjung ke Tokyo, Jepang, untuk menghadiri pemakaman Kaisar Hirohito, ia menerima dan mengadakan pembicaraan dengan Menlu China Qian Qichen yang juga berada di Tokyo.
Dalam pembicaraan selama 25 menit di suite room Hotel Imperial, tempat Presiden Soeharto menginap, Presiden Soeharto dan Menlu Qian Qichen memutuskan mengambil langkah-langkah lanjutan ke arah pencairan kembali hubungan diplomatik RI-RRC.
Dalam pembicaraan bersejarah itu disepakati bahwa Dasa Sila Bandung menjadi dasar pencairan hubungan diplomatik kedua negara. Moerdiono yang mendampingi Soeharto dalam pertemuan itu mengatakan lima prinsip lain yang disepakati.
Pertama, saling menghormati integritas masing-masing. Kedua, tidak saling melakukan agresi. Ketiga, tidak saling mencampuri urusan dalam negeri. Keempat, persamaan derajat dan kemanfaatan bersama. Kelima, hidup berdampingan secara damai.
Pada tanggal 1-3 Juli 1990, Menlu Ali Alatas berkunjung ke Beijing untuk bertemu dengan Menlu Qian Qichen guna memformalkan kesepakatan yang telah dicapai tim teknis. Dalam kunjungan itu dibahas, antara lain, tentang kapan dan bagaimana hubungan diplomatik kedua negara akan dicairkan kembali.
Pada tanggal 8 Agustus 1990, MOU tentang Pencairan Kembali Hubungan Diplomatik antara RI dan RRC ditandatangani Ali Alatas dan Qian Qichen di Istana Negara, Jakarta, dengan disaksikan Presiden Soeharto dan PM RRC Li Peng.
”Tidak ada luka yang tak tersembuhkan,” kata Soeharto dalam jamuan makan malam di Istana Negara, 7 Agustus 1990, untuk menghormati PM Li Peng dan istrinya, Zhu Lin.
Dalam kaitan itulah kata-kata yang diucapkan Presiden Soekarno saat bersalaman dengan PM China Zhou Enlai saat berkunjung ke Beijing, 30 September-14 Oktober 1956, ”Saya berharap tidak ada lagi rasa permusuhan di antara kita. Kami kan tidak bisa memikul tanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan lebih dari 600 tahun lalu.”
Presiden Soekarno mengacu pada perbuatan Raja Singasari Kertanegara pada 1289. Saat itu, Kertanegara membuat cacat muka dua utusan China yang datang ke Singasari untuk menuntut pengakuan kedaulatan Kaisar Kubilai Khan. (James Luhulima)
22 April 2010
12 April 2010
Penyair Hujan dari Baturono
Majalah Tempo, 12 April 2010
MATAHARI sudah condong ke barat ketika Tempo bertandang ke rumah penyair Sapardi Djoko Damono di kompleks dosen Universitas Indonesia, Cirendeu, Ciputat, tiga pekan lalu. Rumah bercat putih itu hanya sepelemparan batu dari Situ Gintung.
Perabot di rumahnya sederhana, menguatkan sosok Sapardi yang lekat dengan puisi liris yang bersahaja. Tidak ada mebel besar dan mewah. Hanya seperangkat kursi tamu yang dimakan usia, bantal kursi bermotif batik, kulkas tua, bale kayu berlapis tikar rotan, rak kayu penuh buku, dan sebuah komputer.
Berkemeja cokelat dengan celana jins, wajah Sapardi yang berkacamata terlihat tirus. Malam sebelumnya, dia harus lek-lekan, tidak tidur karena menemani beberapa penyair yang bertamu. "Mereka mengucapkan selamat ulang tahun. Padahal saya sendiri enggak merasa berulang tahun," katanya. Tiga pekan lalu penyair yang rambutnya sudah memutih ini genap berusia 70 tahun.
Sapardi tinggal di rumah itu dengan seorang pembantu. Istrinya, Wardiningsih, dan dua anaknya, Rasti Suryandani dan Rizki Henriko, tinggal di Depok, Jawa Barat.
Bangunan di atas lahan 400 meter persegi yang ditempati sejak 1995 itu merangkap kantor penerbitan miliknya, Editum. Bermodal komputer dengan program Microsoft Word dan sebuah printer, dia mencetak ulang 14 bukunya.
Kekecewaan Sapardi kepada penerbit sudah memuncak. Sejak tahun lalu, dia mencabut hak cipta semua karyanya. "Bikin sakit hati," katanya. Sapardi enggan menyebut berapa jumlah royalti yang diperoleh setiap tahun dari penerbit sebelumnya. "Tidak jelas dan belum tentu ada. Buku puisi kan tidak laku," katanya.
Selain menulis puisi, Sapardi masih mengajar di Institut Kesenian Jakarta dan Universitas Indonesia. Dia juga menulis esai dan kritik sastra, menerjemahkan dan menyusun makalah.
***
Sesama penyair biasa menyapanya Sapardi atau SDD. Istrinya memanggil Djoko. Namun seorang penulis perempuan dari Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas Gadjah Mada memanggilnya Dam.
Dia lahir di Baturono, Solo, 20 Maret 1940, tepat pada bulan Sapar. Ayahnya, Sadyoko, salah seorang abdi dalem Keraton Kasunanan Surakarta yang menjadi pegawai negeri sipil Jawatan Pekerjaan Umum.
Saat Sapardi menginjak remaja, keluarganya pindah ke Kampung Komplang, Solo bagian utara. Rumah di pinggir kota ini memberikan suasana baru. Kampung yang sepi membuat Sapardi tidak lagi keluyuran. Dia memilih menulis.
Sapardi asyik dolan, tapi tidak lagi di ruang fisik, melainkan keluyuran di alam khayal. Cerita pendek pertamanya dikirim ke suplemen Taman Putro milik majalah berbahasa Jawa Panjebar Semangat, tapi ditolak. "Karangan saya dianggap enggak realistis," ujar lulusan Sastra Barat Universitas Gadjah Mada ini.
Buku kumpulan puisi pertamanya, Duka-Mu Abadi, terbit berkat bantuan sahabatnya, pelukis Jeihan Sukmantoro, pada 1969. Sajak-sajak itu ditulis dua tahun sebelumnya. Sejak itu, Sapardi semakin subur memproduksi kata-kata.
Dia telah menerbitkan puluhan buku sastra, sebagian kumpulan puisi. Pada 1974 terbitlah Mata Pisau, menyusul Perahu Kertas (1983), Sihir Hujan (1984), Hujan Bulan Juni (1994), Arloji (1998), Ayat-ayat Api (2000), Mata Jendela (2002), Ada Berita Apa Hari Ini, Den Sastro? (2002), dan Kolam (2009).
Sapardi juga menerjemahkan sejumlah sastra asing, termasuk karya Kahlil Gibran. Lucunya, puisinya yang berjudul Aku Ingin malah sering dianggap karya Kahlil Gibran. Padahal puisi itu kerap dikutip di lembar pertama undangan pernikahan.
Stamina dan vitalitasnya seolah tidak pernah mati. Dia mengaku sehat meski postur tubuhnya terlihat ringkih. "Saya enggak ada pantangan makan. Sate, gule, tongseng kambing masih saya makan," katanya. Meski pernah terkena serangan jantung, Sapardi lekas pulih. Dia termasuk satu dari sedikit seniman yang rajin check-up kesehatan ke dokter.
Tidak banyak yang tahu Sapardi jago bermain gitar. Mantan gitaris band kampus ini juga mengoleksi ribuan lagu dalam format MP3 di komputernya. Dia menyukai jazz tapi mengagumi The Beatles. Saat Tempo memintanya memetik gitar, dia hanya tertawa, "Ah, sudah tua."
Sambil menawarkan teh manis dalam cangkir keramik bermotif kembang, Sapardi terus bertutur. Dia mengaku dulu belajar menulis puisi dari Rendra lewat karya Ballada Orang-orang Tercinta. "Puisi Rendra mudah dipahami," katanya. Puisi karangan penyair Chairil Anwar baru dia pelajari belakangan.
Sapardi tidak suka televisi. Dia menghindari suara bising televisi atau radio, yang membuatnya tidak bisa merenung, apalagi menulis. "Untuk apa? Bikin bingung saja," katanya. Dia bahkan tidak berlangganan koran atau majalah.
Soal menulis, peraih SEA Write Award dan Ahmad Bakrie Award ini pernah hanya butuh waktu 15 menit untuk menciptakan puisi. "Tapi makin lama makin susah menulis. Saya menjadi kritikus tulisan saya sendiri," kata pendiri Yayasan Lontar ini.
Puisi berjudul Dongeng Marsinah dalam kumpulan Ayat-ayat Api, misalnya, butuh waktu tiga tahun untuk dirampungkan. "Saya otak-atik terus, tapi tidak jadi-jadi," katanya tentang karya untuk mengenang buruh perempuan asal Nganjuk, Jawa Timur, yang tewas dibunuh pada masa Orde Baru itu.
***
... tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan Juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu...
Penggalan sajak Hujan Bulan Juni itu mewakili karya Sapardi yang liris dan sederhana. Dia menjadikan lirik sebagai genre puisi yang lentur dan variatif. Banyak orang jatuh cinta pada puisi setelah membaca karyanya dan menjadi penggubah puisi setelah terpikat sajak-sajaknya. "Dia salah satu rasul utama dunia puisi Indonesia," penyair Joko Pinurbo menyampaikan pujian.
Sapardi berhasil melanjutkan tradisi lirisisme yang dimulai sejak Amir Hamzah dan Chairil Anwar. Liris memiliki unsur yang menonjol: kental menciptakan suasana, ungkapan, dan mengolah bahasa. "Sapardi sangat kuat dengan puisi suasananya," penyair Sitok Srengenge menambahkan ciri puisi Sapardi.
Tema keseharian yang dipilih Sapardi menjadi kekuatannya. Karyanya tentang hujan, bunga jatuh, air selokan, bayangan, batu, pohon belimbing menunjukkan betapa dia akrab dengan suasana sehari-hari yang kerap dilupakan orang lain. "Saya menganggap orang dan benda itu sama," kata Sapardi. "Seperti anak kecil, benda saya anggap teman."
Namun ada pula yang menganggap kesederhanaannya sebagai kemiskinan kata. Kosakata yang digunakan dalam rentang waktu 40 tahun karyanya dinilai terbatas. "Miskin itu relatif. Tapi Sapardi mengulang-ulang," kata kritikus sastra Nirwan Dewanto.
Dalam karya-karya Sapardi, hujan misalnya tumbuh dalam pelbagai variasi: hujan yang terpisah dari tik-tok jam; hujan yang mengenakan mantel, sepatu panjang, payung, dan berdiri di samping tiang listrik; hujan yang mengenal baik pohon, jalan, dan selokan; hujan bulan Juni yang lebih tabah dari siapa pun; dan hujan yang tak sempat menerima isyarat awan.
Puisi Sapardi, menurut Nirwan, merupakan karya yang ingin dicintai dengan sederhana. Dia tidak menuntut: puisi yang dengan sendirinya membuka diri. Puisinya mudah digemari karena genap dalam gramatika dan semantik. Lantaran itu, sejumlah orang melakukan musikalisasi atas puisi-puisinya.
"Kita memang ingin mencintai puisi dengan sederhana. Namun boleh jadi cinta yang sederhana tak cukup lagi, karena di hadapan kita terbentang puisi-puisi dari aneka tanah air, yang mengundang sedikit amarah, sedikit cemburu, dan sedikit muslihat," Nirwan menambahkan.
Sapardi memang tidak seperti Chairil Anwar yang tiba-tiba bisa sangat mengejutkan karena menggunakan struktur kalimat yang tidak lazim atau kata yang nyeleneh. Sapardi adalah Sapardi dengan puisinya yang bersahaja.
Penyair hujan itu kini telah beranjak tua. Tapi dia berusaha tidak keropos dalam karya. Dia masih mampu bertahan dengan stamina yang tidak banyak dipunyai penyair lain. Karya terakhirnya dalam Kolam masih saja menggetarkan sama halnya dengan Duka-Mu Abadi, 41 tahun silam. Sapardi seperti sajak yang ditulisnya sendiri dalam Pohon Belimbing: Kau, kan, yang pernah bilang bahwa pohon itu akan jadi Tua juga akhirnya?
Ninin Damayanti
MATAHARI sudah condong ke barat ketika Tempo bertandang ke rumah penyair Sapardi Djoko Damono di kompleks dosen Universitas Indonesia, Cirendeu, Ciputat, tiga pekan lalu. Rumah bercat putih itu hanya sepelemparan batu dari Situ Gintung.
Perabot di rumahnya sederhana, menguatkan sosok Sapardi yang lekat dengan puisi liris yang bersahaja. Tidak ada mebel besar dan mewah. Hanya seperangkat kursi tamu yang dimakan usia, bantal kursi bermotif batik, kulkas tua, bale kayu berlapis tikar rotan, rak kayu penuh buku, dan sebuah komputer.
Berkemeja cokelat dengan celana jins, wajah Sapardi yang berkacamata terlihat tirus. Malam sebelumnya, dia harus lek-lekan, tidak tidur karena menemani beberapa penyair yang bertamu. "Mereka mengucapkan selamat ulang tahun. Padahal saya sendiri enggak merasa berulang tahun," katanya. Tiga pekan lalu penyair yang rambutnya sudah memutih ini genap berusia 70 tahun.
Sapardi tinggal di rumah itu dengan seorang pembantu. Istrinya, Wardiningsih, dan dua anaknya, Rasti Suryandani dan Rizki Henriko, tinggal di Depok, Jawa Barat.
Bangunan di atas lahan 400 meter persegi yang ditempati sejak 1995 itu merangkap kantor penerbitan miliknya, Editum. Bermodal komputer dengan program Microsoft Word dan sebuah printer, dia mencetak ulang 14 bukunya.
Kekecewaan Sapardi kepada penerbit sudah memuncak. Sejak tahun lalu, dia mencabut hak cipta semua karyanya. "Bikin sakit hati," katanya. Sapardi enggan menyebut berapa jumlah royalti yang diperoleh setiap tahun dari penerbit sebelumnya. "Tidak jelas dan belum tentu ada. Buku puisi kan tidak laku," katanya.
Selain menulis puisi, Sapardi masih mengajar di Institut Kesenian Jakarta dan Universitas Indonesia. Dia juga menulis esai dan kritik sastra, menerjemahkan dan menyusun makalah.
***
Sesama penyair biasa menyapanya Sapardi atau SDD. Istrinya memanggil Djoko. Namun seorang penulis perempuan dari Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas Gadjah Mada memanggilnya Dam.
Dia lahir di Baturono, Solo, 20 Maret 1940, tepat pada bulan Sapar. Ayahnya, Sadyoko, salah seorang abdi dalem Keraton Kasunanan Surakarta yang menjadi pegawai negeri sipil Jawatan Pekerjaan Umum.
Saat Sapardi menginjak remaja, keluarganya pindah ke Kampung Komplang, Solo bagian utara. Rumah di pinggir kota ini memberikan suasana baru. Kampung yang sepi membuat Sapardi tidak lagi keluyuran. Dia memilih menulis.
Sapardi asyik dolan, tapi tidak lagi di ruang fisik, melainkan keluyuran di alam khayal. Cerita pendek pertamanya dikirim ke suplemen Taman Putro milik majalah berbahasa Jawa Panjebar Semangat, tapi ditolak. "Karangan saya dianggap enggak realistis," ujar lulusan Sastra Barat Universitas Gadjah Mada ini.
Buku kumpulan puisi pertamanya, Duka-Mu Abadi, terbit berkat bantuan sahabatnya, pelukis Jeihan Sukmantoro, pada 1969. Sajak-sajak itu ditulis dua tahun sebelumnya. Sejak itu, Sapardi semakin subur memproduksi kata-kata.
Dia telah menerbitkan puluhan buku sastra, sebagian kumpulan puisi. Pada 1974 terbitlah Mata Pisau, menyusul Perahu Kertas (1983), Sihir Hujan (1984), Hujan Bulan Juni (1994), Arloji (1998), Ayat-ayat Api (2000), Mata Jendela (2002), Ada Berita Apa Hari Ini, Den Sastro? (2002), dan Kolam (2009).
Sapardi juga menerjemahkan sejumlah sastra asing, termasuk karya Kahlil Gibran. Lucunya, puisinya yang berjudul Aku Ingin malah sering dianggap karya Kahlil Gibran. Padahal puisi itu kerap dikutip di lembar pertama undangan pernikahan.
Stamina dan vitalitasnya seolah tidak pernah mati. Dia mengaku sehat meski postur tubuhnya terlihat ringkih. "Saya enggak ada pantangan makan. Sate, gule, tongseng kambing masih saya makan," katanya. Meski pernah terkena serangan jantung, Sapardi lekas pulih. Dia termasuk satu dari sedikit seniman yang rajin check-up kesehatan ke dokter.
Tidak banyak yang tahu Sapardi jago bermain gitar. Mantan gitaris band kampus ini juga mengoleksi ribuan lagu dalam format MP3 di komputernya. Dia menyukai jazz tapi mengagumi The Beatles. Saat Tempo memintanya memetik gitar, dia hanya tertawa, "Ah, sudah tua."
Sambil menawarkan teh manis dalam cangkir keramik bermotif kembang, Sapardi terus bertutur. Dia mengaku dulu belajar menulis puisi dari Rendra lewat karya Ballada Orang-orang Tercinta. "Puisi Rendra mudah dipahami," katanya. Puisi karangan penyair Chairil Anwar baru dia pelajari belakangan.
Sapardi tidak suka televisi. Dia menghindari suara bising televisi atau radio, yang membuatnya tidak bisa merenung, apalagi menulis. "Untuk apa? Bikin bingung saja," katanya. Dia bahkan tidak berlangganan koran atau majalah.
Soal menulis, peraih SEA Write Award dan Ahmad Bakrie Award ini pernah hanya butuh waktu 15 menit untuk menciptakan puisi. "Tapi makin lama makin susah menulis. Saya menjadi kritikus tulisan saya sendiri," kata pendiri Yayasan Lontar ini.
Puisi berjudul Dongeng Marsinah dalam kumpulan Ayat-ayat Api, misalnya, butuh waktu tiga tahun untuk dirampungkan. "Saya otak-atik terus, tapi tidak jadi-jadi," katanya tentang karya untuk mengenang buruh perempuan asal Nganjuk, Jawa Timur, yang tewas dibunuh pada masa Orde Baru itu.
***
... tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan Juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu...
Penggalan sajak Hujan Bulan Juni itu mewakili karya Sapardi yang liris dan sederhana. Dia menjadikan lirik sebagai genre puisi yang lentur dan variatif. Banyak orang jatuh cinta pada puisi setelah membaca karyanya dan menjadi penggubah puisi setelah terpikat sajak-sajaknya. "Dia salah satu rasul utama dunia puisi Indonesia," penyair Joko Pinurbo menyampaikan pujian.
Sapardi berhasil melanjutkan tradisi lirisisme yang dimulai sejak Amir Hamzah dan Chairil Anwar. Liris memiliki unsur yang menonjol: kental menciptakan suasana, ungkapan, dan mengolah bahasa. "Sapardi sangat kuat dengan puisi suasananya," penyair Sitok Srengenge menambahkan ciri puisi Sapardi.
Tema keseharian yang dipilih Sapardi menjadi kekuatannya. Karyanya tentang hujan, bunga jatuh, air selokan, bayangan, batu, pohon belimbing menunjukkan betapa dia akrab dengan suasana sehari-hari yang kerap dilupakan orang lain. "Saya menganggap orang dan benda itu sama," kata Sapardi. "Seperti anak kecil, benda saya anggap teman."
Namun ada pula yang menganggap kesederhanaannya sebagai kemiskinan kata. Kosakata yang digunakan dalam rentang waktu 40 tahun karyanya dinilai terbatas. "Miskin itu relatif. Tapi Sapardi mengulang-ulang," kata kritikus sastra Nirwan Dewanto.
Dalam karya-karya Sapardi, hujan misalnya tumbuh dalam pelbagai variasi: hujan yang terpisah dari tik-tok jam; hujan yang mengenakan mantel, sepatu panjang, payung, dan berdiri di samping tiang listrik; hujan yang mengenal baik pohon, jalan, dan selokan; hujan bulan Juni yang lebih tabah dari siapa pun; dan hujan yang tak sempat menerima isyarat awan.
Puisi Sapardi, menurut Nirwan, merupakan karya yang ingin dicintai dengan sederhana. Dia tidak menuntut: puisi yang dengan sendirinya membuka diri. Puisinya mudah digemari karena genap dalam gramatika dan semantik. Lantaran itu, sejumlah orang melakukan musikalisasi atas puisi-puisinya.
"Kita memang ingin mencintai puisi dengan sederhana. Namun boleh jadi cinta yang sederhana tak cukup lagi, karena di hadapan kita terbentang puisi-puisi dari aneka tanah air, yang mengundang sedikit amarah, sedikit cemburu, dan sedikit muslihat," Nirwan menambahkan.
Sapardi memang tidak seperti Chairil Anwar yang tiba-tiba bisa sangat mengejutkan karena menggunakan struktur kalimat yang tidak lazim atau kata yang nyeleneh. Sapardi adalah Sapardi dengan puisinya yang bersahaja.
Penyair hujan itu kini telah beranjak tua. Tapi dia berusaha tidak keropos dalam karya. Dia masih mampu bertahan dengan stamina yang tidak banyak dipunyai penyair lain. Karya terakhirnya dalam Kolam masih saja menggetarkan sama halnya dengan Duka-Mu Abadi, 41 tahun silam. Sapardi seperti sajak yang ditulisnya sendiri dalam Pohon Belimbing: Kau, kan, yang pernah bilang bahwa pohon itu akan jadi Tua juga akhirnya?
Ninin Damayanti
10 April 2010
Indonesia dan Ramalan Jayabaya
Kompas, Sabtu, 10 April 2010
Oleh Jaya Suprana, Budayawan
Saya tak percaya ramalan tentang masa depan akibat terlalu yakin, hanya Yang Maha Tahu yang tahu mengenai apa yang akan terjadi di masa depan. Maka, saya tidak pernah percaya Ramalan Jayabaya.
Meski keyakinan saya tidak tergoyahkan, tetapi segenap malapetaka yang bertubi-tubi menimpa negara dan bangsa Indonesia memilukan sanubari saya sehingga saya mulai tergerak untuk merenungi apa yang disebut sebagai Ramalan Jayabaya. Menurut kesepakatan para ilmuwan sejarah, Jayabaya adalah raja Kediri pada masa 1135-1157 yang bernama lengkap Sri Maharaja Sang Mapanji Jayabhaya Sri Warmeswara Madhusudana Awataranindita Suhtrisingha Parakrama Uttunggadewa. Kejayaan Jayabaya sebagai raja tersurat pada bait-bait awal Kitab Musasar gubahan Sunan Giri Prapen.
Penggagas tulisan dan rangkuman ramalan Jayabaya ke dalam kitab Jangka Jayabaya adalah Pangeran Kadilangu II pada lingkup masa tahun 1741-1743. Pangeran Kadilangu II adalah keturunan Sunan Kalijaga yang berhasil meyakinkan Brawijaya V untuk masuk Islam setelah pertemuan segi empat bersama dua penasihat kerajaan Majapahit: Sabda Palon dan Nayagenggong.
Di samping Jangka Jayabaya, pangeran yang di masa Sri Paku Buwana II juga Kepala Jawatan Pujangga Keraton Kartasura juga menulis berbagai buku penting mengenai kebudayaan Nusantara, seperti Babad Padjadjaran, Babad Madjapahit, Babad Demak, Babad Padjang, Babad Mataram, Raja Kapa-kapa, Sejarah Empu, dan lain-lain. Tampaknya memang banyak penggemar ramalan terbukti popularitas Ramalan Jayabaya di khazanah kebudayaan Jawa setara Ramalan Nostradamus di kebudayaan Barat. Akibat terlalu populer, kitab Jangka Jayabaya kemudian berkembang ke permukaan kesadaran umum dan awam dalam beraneka ragam bentuk versi berdasar beraneka ragam tafsir, selera, dan kehendak hingga tidak jelas lagi tentang mana yang otentik mana yang tidak.
Renungan
Menarik, bagaimana rangkaian petilan salah satu versi Ramalan Jayabaya dalam bentuk syair berbahasa Jawa ternyata memiliki kandungan makna visioner selaras dan sesuai dengan berbagai prahara etika, moral, dan akhlak yang sedang melanda negara dan bangsa Indonesia di masa 853 tahun setelah wafatnya Jayabaya:
pancen wolak-waliking jaman, amenangi jaman edan
ora edan ora kumanan /sing waras padha nggagas
wong tani padha ditaleni/ wong dora padha ura-ura
beja-bejane sing lali, isih beja kang eling lan waspadha
wong waras lan adil uripe ngenes lan kepencil
sing ora abisa maling digethingi/sing pinter duraka dadi kanca
wong bener sangsaya thenger-thenger/wong salah sangsaya bungah
akeh bandha musna tan karuan larine
akeh pangkat lan drajat padha minggat tan karuan sebab
akeh wong nglanggar sumpahe dhewe/manungsa padha seneng ngalap,
tan anindakake hukuming Allah
barang jahat diangkat- angkat /barang suci dibenci
sing edan padha bisa dandan/ sing ambangkang padha bisa
nggalang omah gedong magrong-magrong
sungguh zaman gonjang-ganjing, menyaksikan zaman gila tidak ikut gila tidak dapat bagian /yang sehat pada olah pikir
para petani dibelenggu/para pembohong bersuka ria
beruntunglah bagi yang lupa/masih lebih beruntung yang ingat dan waspada
orang waras dan adil hidupnya memprihatinkan dan terkucil yang tidak dapat mencuri dibenci /yang pintar curang jadi teman
orang jujur semakin tak berkutik / orang salah makin pongah
banyak harta musnah tak jelas larinya / pangkat dan kedudukan lepas tanpa sebab
banyak orang berjanji diingkari / banyak orang melanggar sumpahnya sendiri
manusia senang menipu / tidak melaksanakan hukum Allah
barang jahat dipuja-puja / barang suci dibenci
yang gila dapat berdandan
yang membangkang bisa punya rumah-gedung mewah-megah
Tanpa memubazirkan energi untuk terlibat polemik perdebatan tentang klenik atau bukan, sebenarnya ramalan an sich sangat mandraguna untuk didayagunakan sebagai pedoman akhlak dan budi-pekerti. Percaya atau tidak atas ramalan pada hakikatnya kurang penting sebab yang lebih penting adalah menyadari hakikat ramalan siap dimanfaatkan secara kelirumologis sebagai telaah kekeliruan demi mencari kebenaran.
Ramalan Jayabaya layak difaedahkan sebagai bahan renungan lebih mendalam, meluas, dan meninggi oleh bangsa Indonesia demi mawas-diri mendiagnosa kekeliruan. Hasil diagnosa sahih dimanfaatkan untuk menatalaksana upaya membenahi apa saja yang keliru pada das sein sikap dan perilaku peradaban dan kebudayaan bangsa Indonesia di masa kini demi das sollen membentuk masa depan yang lebih baik.
Subscribe to:
Posts (Atom)