Koran Tempo, 14 Januari 2009
Mohamad Guntur Romli
Pemerhati politik di Timur Tengah, studi di Mesir 1998-2004
Damai belum tercipta di Gaza, meskipun korban sudah jamak bergelimpangan. Hingga 16 hari, konflik Israel-Hamas telah menewaskan 885 orang Palestina: 230 anak, 90 ibu, 305 anggota milisi Hamas, dan 138 polisi--yang terluka 4.075 orang. Sedangkan di pihak Israel, korban yang tewas "hanya" 13 orang (10 serdadu dan 3 warga sipil) dan yang terluka 149 orang (alquds.com dan haaretz.com).
Namun, besarnya jumlah korban itu tidak membuat kedua pihak memberikan isyarat untuk berdamai. Segala ikhtiar perundingan hingga Resolusi Dewan Keamanan PBB nomor 1860 tanggal 9 Januari 2009 yang memerintahkan "kedua belah pihak secepatnya melakukan gencatan senjata dan pasukan Israel mundur dari Gaza agar bantuan kemanusiaan bisa masuk ke Jalur Gaza" ditolak mentah-mentah oleh kedua pihak.
Yang aneh dari sikap penolakan itu bukan dari pihak Israel--yang sudah bisa ditebak dengan abstainnya Amerika dalam pungutan suara--melainkan penolakan dari pihak Hamas, karena sebenarnya resolusi itu membela rakyat sipil Palestina agar terhindar dari serangan Israel. Hamas menolak karena mereka tidak diajak berunding atau tak ada poin: blokade terhadap Gaza dan perbatasan Rafah harus dibuka.
Hamas juga menolak usulan penting dalam perundingan lain yang sebenarnya menguntungkan rakyat sipil Palestina, yaitu usulan pengiriman tentara PBB ke Palestina. Hamas tidak ingin ada tentara negara lain di wilayahnya, apalagi di perbatasan Mesir (Rafah). Hamas ingin memegang kekuasaan total di Gaza. Penolakan terhadap gencatan senjata ini, tanpa peduli pada krisis kemanusiaan di Gaza, memberi saya suatu kesimpulan: konflik yang terjadi saat ini adalah politik perang--bukan politik kemanusiaan--politik yang berdasarkan prinsip perang atau perang untuk tujuan politik. Kedua pihak memilih terus berperang daripada peduli terhadap bencana kemanusiaan.
Saya membaca pertempuran yang hakikatnya tidak seimbang ini--baik Israel maupun Hamas sedang menunjukkan kekuatan masing-masing. Pertempuran ini pun--seperti pertempuran-pertempuran di mana saja yang akhirnya berujung di meja perundingan--yang dikejar hanya ilusi kemenangan. Nantinya si pemenang akan menentukan syarat-syarat dalam perundingan. Dalam negeri Israel sendiri, isu perang dan perundingan menjadi isu politik mahapenting. Perdana Menteri Israel yang berani berunding dengan Palestina akan kehilangan jabatan, bahkan nyawanya. Yitzhak Rabin, yang menandatangani Perjanjian Oslo 1993, mati terbunuh. Netanyahu (1996-1999) kalah oleh Ehud Barak karena berani menandatangani kesepakatan Wye River I 1998 dan Wye River II 1999. Dan jabatan Barak (1999-2001) direbut oleh Ariel Sharon karena ia melakukan kesepakatan Camp David II 2000.
Serangan Israel terhadap Gaza ini pun berkait erat dengan pemilu Israel, yang akan digelar pada 10 Februari nanti. Tiga tokoh penting dari tiga partai politik yang akan bertarung, yakni Tzipi Livni dari Kadima, Ehud Barak dari Buruh, dan Benjamin Netanyahu dari Likud, sama-sama berlomba mengail ikan di air keruh. Sedangkan Perdana Menteri Israel sekarang, Ehud Olmert, tahu diri dan tidak ikut bertarung, karena popularitasnya anjlok gara-gara gagal perang melawan Hizbullah 2006 dan berkeras hadir dalam Konferensi Perundingan Annapolis, November 2007.
Dengan serangan Israel ini, Livni ingin memperbaiki citra partainya yang melorot gara-gara kepemimpinan Olmert. Pada Pemilu 2006, Kadima memperoleh suara terbanyak. Ehud Barak juga ingin memperbaiki reputasi Buruh akibat kegagalan Ketua Buruh lamanya: Amir Peretz, yang menjabat menteri pertahanan dalam kabinet Olmert lantas mundur akibat gagal dalam perang melawan Hizbullah. Kini sebagai menteri pertahanan, Barak tidak ingin gagal seperti Peretz. Dua tokoh dalam pemerintahan ini (Livni dan Barak) berpacu dengan Benjamin Netanyahu dari Likud (partai konservatif), yang memilih menjadi oposisi dan sejak awal konsisten bersikap tanpa kompromi terhadap Palestina. Livni dan Barak sadar, kalau kabinet sekarang melunak pada Hamas atau gagal, Netanyahu akan menang dalam pemilu nanti.
Setelah serangan Israel itu, hasil survei menunjukkan partai politik yang ketiban rezeki. Jerusalem Post (2 Januari) menunjukkan Likud dan Buruh memperoleh tambahan dukungan dibanding hasil survei terakhir, 31 Oktober 2008: jumlah kursi Likud diperkirakan naik dari 27 ke 29, Buruh naik tipis: 14 ke 15. Naiknya jumlah kursi dua partai politik itu diprediksi mengambil jatah kursi Kadima, yang turun dari 27 ke 23 kursi.
Barak juga memperoleh keuntungan pribadi. Menurut survei di Haaretz (1 Januari), setelah enam hari serangan Israel, 52 persen responden menegaskan kepuasan mereka atas kinerja Barak dibandingkan dengan enam bulan sebelumnya, yang hanya memperoleh 34 persen.
Di pihak lain, Hamas juga memilih perang. Bagi Hamas, perang adalah satu-satunya panggung untuk memamerkan kekuatan atau celah untuk keluar dari krisis. Sebagai partai politik dan kelompok militer, Hamas ingin menunjukkan kekuatan kepada lawan mereka di Palestina: Fatah, kepada Israel, atau kepada pihak-pihak yang selama ini menjadi mediator dan donatur bagi perundingan Israel-Palestina (Amerika, Uni Eropa, Liga Arab hingga PBB), yang selalu meremehkan kekuatan Hamas, bahkan memboikotnya. Hamas ingin menunjukkan kekuatannya dengan bukti: menang Pemilu Legislatif 2006 dan mengusir milisi Fatah dan pasukan Otoritas Palestina yang loyal kepada Mahmud Abbas dari Gaza (2007). Ke depan, pihak mana pun yang ingin berunding dengan Palestina, Hamas-lah yang paling berhak mewakili Palestina.
Sebagai kelompok militer, Hamas sukses membangun kekuatan. Apalagi sejak mundurnya pasukan Israel dari perbatasan Rafah pada September 2005, yang mengakibatkan hilangnya kontrol militer Israel di kawasan itu. Tugas yang seharusnya dilanjutkan oleh pasukan Otoritas Palestina itu direbut oleh Hamas. Maka penyelundupan senjata untuk memperkuat militer Hamas pun sukses besar. Namun, kekuatan Hamas di dalam negeri tidak banyak berarti karena boikot dari luar negeri. Sedangkan mayoritas rakyat Palestina hidup dari bantuan yang datang dari luar. Boikot itu melahirkan multikrisis: ekonomi, sosial, dan politik. Hamas tidak ingin ada pembangkangan sipil dari dalam. Dengan memancing Israel menyerang, Hamas bisa cuci tangan dari kegagalannya di dalam negeri. Hamas memperoleh simpati luar biasa dan dukungan opini publik dunia. Demonstrasi yang meluas di mana-mana hanya membawa dua pesan: mengutuk Israel dan mendukung Hamas. Dan Kekuatan Hamas dalam konflik ini bukan senjata, melainkan tameng hidup rakyat sipil Gaza yang korban-korbannya (khususnya ibu dan anak-anak) mampu memanggil simpati dunia.
Sementara itu, mayoritas rakyat sipil di Gaza tidak pernah memilih perang. Survei yang dilakukan pada 29-30 Desember tahun lalu di Jalur Gaza oleh Near East Consulting--lembaga konsultan yang mengeluarkan hasil survei bulanan di Palestina--menunjukkan 60 persen dari responden tidak mendukung pilihan Hamas yang tidak melanjutkan "gencatan senjata enam bulan" dengan Israel, yang berakhir 19 Desember (alquds.com, 3 Januari).
Di tengah keprihatinan terhadap krisis kemanusiaan di Gaza, dan segala upaya perundingan yang selalu diarahkan pada jalur buntu, baik oleh pihak Israel maupun Hamas, hingga penolakan mereka pada Resolusi Dewan Keamanan PBB, kita terkejut dan heran. Bagaimana bisa mereka tidak peduli pada bencana kemanusiaan dan akal sehat perundingan? Ternyata karena mereka memang mau perang. *