Dunia Anak Dunia Alam
Acara berpetualang, edukatif, dan keragaman budaya menjadi tayangan alternatif bagi anak kota. Terinspirasi Anak Seribu Pulau karya Garin Nugroho.
Mata Amalia Aulian Firdausi tak berkedip mengikut petualangan anak dalam acara Bocah Petualang (Bolang). Sebuah acara yang menampilkan petualangan, permainan, dan mengutamakan unsur edukatif di TRANS7. Berbagai permainan yang tak dijumpainya saat bermain bersama teman. Hatinya terusik melihat kegembiraan anak-anak di pelosok daerah yang menampilkan permainan unik baginya. “Seru banget, saya sangat suka dan ingin mencoba,” kata siswa kelas II SDN Cibuluh I Bogor Utara ini.
Baginya, permainan egrang yang ditampilkan dalam acara Bolang bulan lalu menjadi tak biasa. Ia memang akrab dengan permainan artifisial model pabrikan. Belum lagi bagaimana mereka menyusuri hutan dan bermain dengan hewan yang ada di dalamnya. Permainan di alam bebas yang belum pernah dirasakannya.
Acara berpetualang, edukatif, dan keragaman budaya menjadi tayangan alternatif bagi anak kota. Hal-hal yang selama ini diluar jangkauannya, tampil mencolok mata lewat layar kaca. Permainan tradisional seperti benthik, engklek, tulup, hingga perburuan hewan muncu di layar kacal. “Kita membidik anak yang ada di pelosok dan belum terjangkau,” ujar Amatul Rayani sang produser.
Bolang sendiri muncul sejak 26 Maret 2006. Kemunculannya dipicu oleh makin jauhnya anak dengan permainan tradisional. Apa boleh buat Bolang lebih mengingatkan bahwa dulu ada permainan dan petualangan alam yang menarik. Lihatlah edisi perdananya yang menampilkan bocah berasal dari Tuadale, Nusa Tenggara Timur bernama Jose, 12 tahun. Jose berpetualang di rawa dan hutan. Kelincahan anak-anak Tuadale dalam mengendalikan perahu menyusuri hutan bakau merupakan tontonan yang seru dan menghibur. Mereka juga menyusuri pantai Salupu untuk berburu kepiting dan gurita di malam hari dengan penerangan seadanya.
Anton Hendrawan, associate producer yang menggagas acara ini sejak awal mengaku bingung mencari tokoh anaknya, hinga akhirnya mereka menjumpai anak yang bandel dan berani di SD terpencil. Nah, si Jose ini adalah murid SD Gemit Tuadalle. Ia termasuk berani berbicara dan bertingkah. “Tentunya membutuhkan anak yang aktif untuk bisa memanjat pohon, berburu, dan lainnya,” katanya.
Timnya melakukan riset mencari tempat pedalaman, utamanya tempat yang belum pernah terangkat ke layar televisi. Selanjutnya melakukan riset budaya, adat, dan permainan anak-anak yang ada disana. Tak lupa, menampilkan gambar eksotis alam yang kuat. Biasanya mereka menggunakan semacam panduan terlebih dahulu untuk pendekatan. Sikap kooperatif masyarakat sekitar untuk diambil gambarnya banyak membantu produksi acara ini.
Pionir acara jenis ini untuk televisi diawali Surat Sahabatku sejak tahun 2004. Mulanya Surat Sahabatku mengangkat anak di daerah konflik dan bencana. Dalam perjalanannya, format yang menceritakan kesedihan ini berubah. Sejak Januari 2005 konsepnya lebih kepada petualangan anak dengan tajuk Surat Sahabat. Alasannya, untuk format anak-anak sebuah kisah sedih ternyata kurang menarik. “Kita termotivasi oleh filmnya Garin Nugroho, Anak Seribu Pulau,” ujar Fraya Wowiling produser Surat Sahabat. Mengutamakan edukasi dan budaya yang beragam, lalu muncullah anak anak orang rimba Suku Jambi, Anak-anak Suku Mentawai, Suku Wana di Morowali dan seterusnya.
Format ini memang menarik buat anak, tapi tetap saja ada ceruk kekurangan. Enny ibunda Amalia Aulian Firdausi merasa agak khawatir ketika ada adegan yang kurang sreg. Seperti misalnya ada perburuan kumbang badak (kumbang bercula), kemudian anak-anak mengikatnya dan memaksa untuk terbang. Atau Surat Sahabat episode 8 Maret 2007 tentang kehidupan seorang bocah Sumbawa yang bercita-cita jadi joki nasional. Episode ini menayangkan kebiasaan anak-anak Sumbawa berburu, memasak, dan mengonsumsi logot. Logot adalah bahasa tempatan untuk menyebut tikus tanah. “Sebaiknya yang demikian lebih diolah,” ujarnya.
Andi Dewanto
Tempo Edisi 08/XXXIIIIII/16 - 22 April 2007
16 April 2007
Candu Mie
Ada candu yang tidak bisa lepas, bahkan saat berada nun jauh dari Jakarta. Ialah dia makan mie ayam. Seorang kawan pernah ditanya, apa hal yang diingat dari saya. Dia bilang, hanya mie ayam yang ada di otaknya.
Ya, memang itulah senyatanya. Saya bisa turun dari bis jika melihat gerobak mie ayam di pinggir jalan. Rasanya pengin tahu, mie ayam yang ini seperti apa rasanya. Hasilnya, sebuah kosa perhimpunan rasa mie ayam yang lumayan di Jakarta. Beberapa spot yang layak dikunjungi jika lapar datang. Sayang, sejak tinggal di Bogor, perbendaharaan ini menjadi kurang valid.
Saya sering pergi ke luar kota belakangan ini. Tapi kelakuan candu mie ini tidak berhenti. Maklum, kadang makanan di luar kota kurang akrab dengan lidah. Naga-naganya, urusan lidah kembali ke selera asal, ya mie ayam itu.
Beruntung, pasar mie ayam menyebar hampir ke seantero Nusantara. Di Maumere, Nusa Tenggara Timur atau Kutacane, Aceh Tenggara, mie ayam siap tersaji. Lagipula, mie ayam bisa menyambung rasa laten kesukuan.
Kadang, saat berada di tempat nun jauh dari Jakarta, ada rasa kangen bertemu nuansa Jawa. Dan itu bisa ditemukan lewat perantara mie ayam. Asal tahu, banyak orang Jawa jualan mie ayam. Ini menjadi bekal mereka saat merantau.
Di Maumere, seorang bapak dari Malang menunggu gerobak di sebelah Gedung BRI Maumere. Ada tulisan "Mie Pangsit" di gerobaknya. Sebagai variasi, dia menambah telur ayam pada semangkuk mienya. Nah, di sebelah dia mangkal, ada orang Surabaya menjual nasi goreng. Saat mampir ke warung bapak-bapak ini, aroma Jawa menyeruak dari dagelan Suroboyoan. Rasanya seperti bertemu teman lama.
Di Kutacane, seorang ibu dari Sragen mengumbar senyum kepada pembeli mie ayam, yang mengalir keluar-masuk kiosnya. Si ibu riang bertemu orang sekampung seperti saya. Dia pikir, ada juga orang Sragen di Kutacane. Maka, cerita perjuangan merambah Aceh pun menjadi sajian kebanggaan. Enam tahun sudah si ibu bertahan di Aceh.
Begitulah. Mie ayam masih mengganggu pikiran, dan saya masih melanglang. Jadi, sepertinya ada agenda pasti saat memburu bocah-bocah petualang di pedalaman.
Ada candu yang tidak bisa lepas, bahkan saat berada nun jauh dari Jakarta. Ialah dia makan mie ayam. Seorang kawan pernah ditanya, apa hal yang diingat dari saya. Dia bilang, hanya mie ayam yang ada di otaknya.
Ya, memang itulah senyatanya. Saya bisa turun dari bis jika melihat gerobak mie ayam di pinggir jalan. Rasanya pengin tahu, mie ayam yang ini seperti apa rasanya. Hasilnya, sebuah kosa perhimpunan rasa mie ayam yang lumayan di Jakarta. Beberapa spot yang layak dikunjungi jika lapar datang. Sayang, sejak tinggal di Bogor, perbendaharaan ini menjadi kurang valid.
Saya sering pergi ke luar kota belakangan ini. Tapi kelakuan candu mie ini tidak berhenti. Maklum, kadang makanan di luar kota kurang akrab dengan lidah. Naga-naganya, urusan lidah kembali ke selera asal, ya mie ayam itu.
Beruntung, pasar mie ayam menyebar hampir ke seantero Nusantara. Di Maumere, Nusa Tenggara Timur atau Kutacane, Aceh Tenggara, mie ayam siap tersaji. Lagipula, mie ayam bisa menyambung rasa laten kesukuan.
Kadang, saat berada di tempat nun jauh dari Jakarta, ada rasa kangen bertemu nuansa Jawa. Dan itu bisa ditemukan lewat perantara mie ayam. Asal tahu, banyak orang Jawa jualan mie ayam. Ini menjadi bekal mereka saat merantau.
Di Maumere, seorang bapak dari Malang menunggu gerobak di sebelah Gedung BRI Maumere. Ada tulisan "Mie Pangsit" di gerobaknya. Sebagai variasi, dia menambah telur ayam pada semangkuk mienya. Nah, di sebelah dia mangkal, ada orang Surabaya menjual nasi goreng. Saat mampir ke warung bapak-bapak ini, aroma Jawa menyeruak dari dagelan Suroboyoan. Rasanya seperti bertemu teman lama.
Di Kutacane, seorang ibu dari Sragen mengumbar senyum kepada pembeli mie ayam, yang mengalir keluar-masuk kiosnya. Si ibu riang bertemu orang sekampung seperti saya. Dia pikir, ada juga orang Sragen di Kutacane. Maka, cerita perjuangan merambah Aceh pun menjadi sajian kebanggaan. Enam tahun sudah si ibu bertahan di Aceh.
Begitulah. Mie ayam masih mengganggu pikiran, dan saya masih melanglang. Jadi, sepertinya ada agenda pasti saat memburu bocah-bocah petualang di pedalaman.
Subscribe to:
Posts (Atom)