New Wave
Pada majalah Tempo edisi 15-21 Januari 2007, yang terhormat Bapak Noorca M. Massardi, salah satu anggota Dewan Juri FFI 2006, menulis sebuah ulasan yang cukup sinis terhadap protes yang dilayangkan Masyarakat Film Indonesia. Tulisan beliau yang berjudul ”Oh, Film” (hlm. 126) mengajukan sebuah pemikiran perbandingan antara apa yang terjadi belakangan ini di ”wacana sinema Indonesia” dan apa yang terjadi di Prancis pada tahun 1960-an. Untuk lebih jelasnya, beliau merujuk pada sebuah gerakan sinema yang disebut New Wave (nouvelle vague, atau gelombang baru). Saya ingin menggarisbawahi beberapa hal yang disampaikan dalam tulisan itu.
Pertama, ada beberapa ”kesalahan” yang menurut saya sangat esensial (dan memalukan?) dalam tulisan itu. Menyangkut persoalan fakta historis dan penyebutan nama. Kesalahan itu antara lain ditulis bahwa Roman Polanski adalah salah satu eksponen gerakan gelombang baru. Pernyataan itu sungguh sangat mengherankan. Polanski memang dilahirkan di Paris, Prancis. Tetapi terlihat dari namanya, Roman Polanski bukanlah keturunan Prancis, melainkan Polandia. Tetapi hal yang lebih penting dari fakta ini adalah Polanski tidak pernah terlibat dalam gerakan New Wave pada tahun-tahun 1960-an di Prancis. Roman Polanski memulai debut kariernya sebagai pembuat film di sebuah sekolah film di Polandia. Debut film panjangnya, Knife in the Water (1962), dibuatnya di Polandia dan mendapat pengakuan internasional setelah film tersebut menjadi nomine Oscar untuk film berbahasa asing terbaik.
Tiga tahun kemudian Polanski membuat film di Inggris berjudul Repulsion (1965). Polanski kemudian terjun ke industri sinema Hollywood sejak ia membuat Rosemary’s Baby (1968) lalu Chinatown (1974) untuk menyebut beberapa yang terkenal. Dua film ini menjadikannya bagian dari gelombang kebangkitan pembuat film Hollywood pasca-Hollywood klasik di tahun 1970-an. Jadi sangat lucu bila Noorca menjadikan Roman Polanski sebagai salah satu eksponen gerakan New Wave, karena New Wave dikenal sebagai gerakan film yang bermula di Prancis, sementara Roman Polanski bekerja di Polandia dan Amerika Serikat.
Kedua, sejarah sinema Prancis (dan dunia) tidak mengenal seorang pembuat film bernama Claude Rohmer. Salah satu pembuat film gelombang baru dengan nama belakang Rohmer bernama lengkap Eric Rohmer (dengan nama asli Jean-Marie Maurice Scherer). Eric Rohmer memang tepat sekali dianggap sebagai eksponen gerakan New Wave karena beliau tergabung dalam sebuah jurnal yang menjadi alat penting gerakan New Wave ini, yakni jurnal film Cahiers du Cinema. Eric Rohmer juga menjadi penulis skenario dan pembuat film dengan film seperti Le Signe du Lion (1959), La Marquise d’O (1974), dan serial Contes Moraux.
Ketiga, gerakan New Wave, tidak seperti disebut oleh Noorca, tidak dimulai pada tahun-tahun protes 1968. New Wave sebagai sebuah gerakan sinema telah dimulai sejak tahun 1958. Periode awal gerakan ini disepakati terjadi pada tahun 1958-1962, sementara periode kedua terjadi pada tahun 1966-1968.
Kalau dilihat lebih jauh, gerakan film gelombang baru berawal dari didirikannya jurnal sinema Cahiers du Cinema pada tahun 1951 oleh Andre Bazin, Jacques Doniol-Valcroze, dan Joseph-Marie Lo Duca. Dari jurnal ini, muncullah orang-orang yang nanti akan menjadi sutradara eksponen gerakan New Wave, antara lain Eric Rohmer, Francois Truffaut, Jean Luc-Godard, Claude Chabrol, dan Jacques Rivette.
Karena berangkat dari kritik film dan ”anak-anak muda yang lebih melek sejarah film”, maka gerakan New Wave bisa dibilang merupakan gerakan estetika yang ingin mengubah estetika-estetika film sebelum mereka yang saat itu dikuasai oleh generasi tua pasca-perang. Generasi yang oleh Truffaut disebut Cinema de Papa ini merupakan generasi yang menggunakan standar naratif ketat yang saat itu menjadi arus utama.
Pemberontakan New Wave, yang diakui dimulai oleh film Le Beau Serge (1959), mengajukan sebuah gagasan estetik yang berbeda dengan pendahulu-pendahulunya. Dua nilai dasar dari New Wave itu adalah:
Penolakan atas montase klasik yang mengedepankan struktur naratif (bercerita) urut dan teratur. Estetika New Wave lebih condong pada apa yang disebut mise-en-scene (apa yang tampak di dalam film, seperti artistik, akting, pencahayaan, set), pengambilan gambar secara lama (long takes) dan komposisi kedalaman (depth of field).
Keyakinan bahwa film yang baik adalah film yang menjadi ekspresi artistik personal pembuatnya. Keyakinan ini melahirkan apa yang disebut ”teori auteur”.
Nilai pertama diwujudkan dalam proses pembuatan film yang lebih individual, dengan bujet rendah, kamera cangking (handheld), dan pemilihan lokasi pengambilan gambar yang riil (bukan studio). Keyakinan kedua soal auteur diacu Noorca M. Massardi untuk menilai Koya Pagayo aka Nayato Fio Nuala dengan menyebut sutradara tersebut sebagai ”auteur” (Cek dan Ricek, edisi 437, 2007).
Apa yang bermasalah dari teori-teori ini? Adalah hal yang sangat lucu kalau tidak bisa dibilang ironis, membandingkan gerakan New Wave ini dengan gerakan protes yang dilakukan oleh para pembuat film dari Masyarakat Film Indonesia. Mengapa demikian?
Pertama, gerakan protes Masyarakat Film Indonesia merupakan gerakan politik, bukan gerakan sinema atau gerakan estetik. Para pembuat film anggota Masyarakat Film Indonesia, seperti Riri Riza, Mira Lesmana, Nia Dinata, Dimas Djayadiningrat, Shanty Harmayn, atau Hanung Bramantyo, untuk menyebut beberapa, sama sekali tidak memiliki kesamaan platform estetik. Mereka bergerak di wilayah estetik yang berbeda-beda. Sehingga menyamakan atau memperbandingkan gerakan New Wave dengan gerakan advokasi MFI adalah sesuatu yang menyesatkan. MFI tidak menawarkan sistem estetika baru sekental apa yang ditawarkan gerakan New Wave di Prancis. Gerakan ini justru harus dilihat sebagai gerakan advokasi yang ingin membela hak-hak mereka sebagai pembuat dan pekerja film.
Kedua, ”teori auteur” sendiri merupakan salah satu teori sinema yang paling bermasalah. Selain terlalu fokus pada selera estetik satu orang saja (sutradara), teori ini mengundang paradoks. Pertama, teori ini berangkat dari impian masa Romantik tentang ”film yang baik hanya bisa dihasilkan oleh orang yang baik/pintar” (Great literature/film produced by great men) [Men sengaja ditulis sebagai laki-laki, menandai sistem patriarki yang menyelubunginya]. Tesis ini paradoks dengan pendekatan New Wave sendiri yang mengajukan demokratisasi pembuatan film. Kedua, pendekatan ini bersifat parsial, konservatif, dan patriarkal.
Persoalan berikutnya, gerakan mahasiswa Paris di tahun 1968 tidak secara langsung mempengaruhi gerakan sinema New Wave. Seperti yang saya katakan sejak awal, gerakan ini jauh lebih dulu dari gerakan protes Paris 1968. Gerakan Paris 1968 bisa dibilang hanya mempengaruhi sedikit dalam film-film Jean Luc-Godard, tetapi pembuatan film secara umum tidak terlalu terpengaruh. Kontribusi besar gerakan ini justru di wilayah politik kebudayaan dan industri, yakni hilangnya sensor, peningkatan pajak bagi film-film ”dewasa” (X-rates) dan subsidi silang untuk pembuat film muda/pemula dan film-film artistik. Sesuatu yang masih harus diperjuangkan oleh para pembuat dan pekerja film di Indonesia.
Tanpa bermaksud merendahkan seni yang lain (Bapak Noorca menyebut tari, seni rupa, musik, teater, dll), film memiliki ciri spesifik yang menjadikannya produk budaya sekaligus produk industri/ekonomi. Tidak seperti seni lain yang membutuhkan modal dan sistem manajemen yang tidak terlalu rumit, film menuntut jumlah kru dan investasi modal yang tidak sedikit. Meski muncul genre film yang lebih sederhana dan tidak membutuhkan banyak modal (dokumenter, misalnya), tetapi film sebagai industri membutuhkan pengaturan yang sangat kompleks.
Pernyataan implisit Bapak Noorca yang mempertanyakan urgensi UU Perfilman mungkin harus dipikirkan dalam kerangka kepentingan film nasional. Kalau film Indonesia tidak dianggap produk kebudayaan (melainkan produk industri semata), maka memang tak perlu para pembuat film mengajukan UU khusus perfilman. Untuk industri, film hanya membutuhkan kebebasan berekspresi yang sudah tercakup oleh UU lain (UU Pers, Penyiaran, dan HAM) dan undang-undang perdagangan (anti-monopoli, persaingan sehat, dll).
Tetapi melihat draft RUU Perfilman yang diajukan oleh Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata dan RUU Perfilman versi BP2N, dikatakan dengan cukup tegas bahwa film Indonesia merupakan produk kebudayaan. Jadi, mau tak mau pemerintah harus mengambil tindakan untuk memproteksinya.
Dalam konteks inilah, menurut saya, gerakan advokasi MFI harus dimaknai. Bukan dalam segi estetik seperti yang diajukan oleh Bapak Noorca, karena Indonesia belum (dan mungkin memang tidak) sampai ke perdebatan tentang itu, tetapi karena ada hal-hal yang lebih urgen, yang lebih berkenaan dengan ”keberlangsungan” hidup perfilman sendiri, daripada perdebatan soal estetik yang, maaf-maaf saja, tidak dikuasai oleh banyak orang Indonesia, termasuk anggota dewan juri yang terhormat Festival Film Indonesia.
VERONICA KUSUMA
Mahasiswa Kajian Film, Institut Kesenian Jakarta
(Surat Pembaca Tempo Edisi. 49/XXXV/29 Januari - 04 Februari 2007)
29 January 2007
Kanoute
"Saya bukan seorang yang patut diidolakan."
Namanya mendadak melejit musim ini. Frederic Kanoute, penyerang Sevilla, melesakkan empat gol dalam tiga pertandingan Liga Spanyol plus satu gol saat mengempaskan Barcelona 3-0 pada Piala Super Eropa. Dia berhak atas gelar pichichi (top scorer) Liga Spanyol pekan lalu bersama Samuel Eto'o dari Barcelona.
Suporter Sevilla menemukan idola baru dalam diri Kanoute sepeninggal Javier Saviola yang telah kembali ke Barcelona. Musim lalu Kanoute kalah pamor dibanding Saviola dan hanya mencetak enam gol sepanjang musim. Tapi si pemain justru menolak diidolakan secara berlebihan.
"Dalam agama saya, Islam, berjudi, minum alkohol, dan memuja idola itu dosa," ujar Kanoute menjelaskan alasannya. "Dan saya bukan seorang yang patut diidolakan, saya hanya manusia biasa."
Pemain berusia 29 tahun itu bersungguh-sungguh dengan ucapannya. Pengurus Sevilla sempat kelabakan dengan prinsipnya. Pada pekan pertama dan kedua kompetisi, pertengahan Agustus lalu, Kanoute menutupi logo sponsor yang ada di kostumnya saat bertanding. Sebuah logo dari rumah judi, 888.com.
Setelah melalui serangkaian negosiasi, Kanoute akhirnya setuju melepas penutup logo di kostumnya. Selain itu, guru agama yang dia ajak berdiskusi memberi masukan bahwa mengenakan seragam berlogo sponsor rumah judi tidak berarti pendukung perjudian.
Kanoute telah mengalami perjalanan panjang sebelum menemukan keteguhan iman Islam seperti sekarang. Perenungan dalam yang membuatnya bisa berucap tegas, "Islam telah menuntun saya ke jalan yang benar, dan Nabi Muhammad panutan saya." Setiap menyebut nama Nabi Muhammad, dia selalu menambah dengan kalimat, "Semoga Allah selalu menganugerahkan kedamaian kepada beliau."
Fredi--panggilan akrabnya--lahir di Sainte-Foy-les-Lyon, kawasan metropolitan di pinggiran Lyon, kota terbesar kedua di Prancis setelah Paris. Ayahnya adalah warga negara Mali yang lantas menetap di Paris saat berusia 21 tahun dan menjadi pekerja pabrik. Sang ayah menikah dengan perempuan Prancis, seorang profesor filsafat--ibu Kanoute.
"Keluarga kami bukan keluarga miskin, tapi juga tidak terlalu kaya," kata Kanoute. Pendidikan menjadi hal penting di keluarga mereka. Saudara laki-laki Fredi seorang doktor, saudara perempuannya guru sekolah perawat. Dia sendiri selalu diharapkan ayah-ibunya untuk masuk universitas.
"Tapi ayah, ibu, dan saudara-saudara saya tak keberatan saat saya memutuskan untuk berkarier sebagai pemain bola. Meski tentu saja mereka lebih suka bila saya meneruskan kuliah," ceritanya sambil tertawa.
Terbiasa dengan pola pikir filosofis yang diterapkan ibunya, Kanoute tumbuh menjadi pemuda yang selalu haus mencari jati diri. Di sela-sela latihan dan pertandingannya sebagai pemain muda Olympique Lyon, Kanoute mencoba merenungkan arti hidup.
"Saat itu saya sudah berpikir, pasti ada yang lebih bermakna daripada sekadar sepak bola," kenangnya. "Bukan berarti saya menganggap remeh sepak bola, bukan, sampai sekarang pun saya menganggap sepak bola penting bagi hidup saya."
Dari situlah dia menemukan Islam. Kanoute muda mengenal Islam dari lingkungannya yang banyak dihuni para imigran dari Afrika bekas jajahan Prancis. Karena tertarik, dia lantas mencari buku-buku rujukan.
Tepat pada tahun pertama memulai karier profesional bersama Lyon, musim 1997/1998, saat usianya 20 tahun, dia mengucapkan kalimat syahadat. Namanya lantas berganti menjadi Frederic Oumar Kanoute. Dia kemudian menikahi perempuan keturunan Mali, Fatima. Mereka telah dikaruniai dua putra: Ibrahim, 5 tahun, dan Iman, 3 tahun 6 bulan.
Setelah bermain untuk Lyon, 1997-2000, Kanoute merumput untuk West Ham di Liga Inggris (2000-2003) dan kemudian Tottenham Hotspur (2003-2005). Setelah itu Sevilla menjadi persinggahannya sejak dua musim lalu. Pada 2003, dia memutuskan untuk pindah kewarganegaraan menjadi Mali dan memperkuat tim nasionalnya. Padahal Fredi sempat membela tim nasional Prancis U-21.
Di mana pun dia berada, pemain bertinggi badan 192 sentimeter ini selalu tegas menyatakan bahwa dia seorang muslim. Dia salat lima waktu, tidak minum alkohol, dan menjauhi kehidupan malam. Saat Pangeran Charles mengunjungi Masjid Whitechapel, London Timur, pada 2003, dia menjadi salah satu orang yang menyambutnya.
Yang paling sulit bagi seorang pemain profesional seperti dia adalah beradaptasi dengan lingkungan dan kompetisi setempat, terutama bila bulan Ramadan tiba. Sebagai seorang muslim, dia harus melaksanakan puasa wajib. Sebagai pemain profesional, dia dituntut untuk selalu turun dalam kondisi fisik terbaik.
Empat hari menjelang Ramadan tahun ini, pelatih Sevilla, Juande Ramos, bertanya tentang pola makannya saat puasa. Ramos khawatir si penyerang andalnya akan kehilangan ketajamannya bila kondisi fisiknya menurun saat puasa.
"Saya sudah terbiasa sebelumnya. Saya telah berkonsultasi dengan dokter dan katanya tak ada masalah," ungkap Kanoute. "Bila pertandingan malam, saya berbuka sebelum bermain. Bila pertandingan sore, saya tidak puasa. Pada hari lain saya berpuasa sepenuhnya."
Sungguh sebuah perjuangan berat dari seorang pichichi yang ingin menjadi muslim yang kafah. EL PAIS |ETHNICMEDIA | ANDY MARHAENDRA
Koran Tempo, 24 September 2006
"Saya bukan seorang yang patut diidolakan."
Namanya mendadak melejit musim ini. Frederic Kanoute, penyerang Sevilla, melesakkan empat gol dalam tiga pertandingan Liga Spanyol plus satu gol saat mengempaskan Barcelona 3-0 pada Piala Super Eropa. Dia berhak atas gelar pichichi (top scorer) Liga Spanyol pekan lalu bersama Samuel Eto'o dari Barcelona.
Suporter Sevilla menemukan idola baru dalam diri Kanoute sepeninggal Javier Saviola yang telah kembali ke Barcelona. Musim lalu Kanoute kalah pamor dibanding Saviola dan hanya mencetak enam gol sepanjang musim. Tapi si pemain justru menolak diidolakan secara berlebihan.
"Dalam agama saya, Islam, berjudi, minum alkohol, dan memuja idola itu dosa," ujar Kanoute menjelaskan alasannya. "Dan saya bukan seorang yang patut diidolakan, saya hanya manusia biasa."
Pemain berusia 29 tahun itu bersungguh-sungguh dengan ucapannya. Pengurus Sevilla sempat kelabakan dengan prinsipnya. Pada pekan pertama dan kedua kompetisi, pertengahan Agustus lalu, Kanoute menutupi logo sponsor yang ada di kostumnya saat bertanding. Sebuah logo dari rumah judi, 888.com.
Setelah melalui serangkaian negosiasi, Kanoute akhirnya setuju melepas penutup logo di kostumnya. Selain itu, guru agama yang dia ajak berdiskusi memberi masukan bahwa mengenakan seragam berlogo sponsor rumah judi tidak berarti pendukung perjudian.
Kanoute telah mengalami perjalanan panjang sebelum menemukan keteguhan iman Islam seperti sekarang. Perenungan dalam yang membuatnya bisa berucap tegas, "Islam telah menuntun saya ke jalan yang benar, dan Nabi Muhammad panutan saya." Setiap menyebut nama Nabi Muhammad, dia selalu menambah dengan kalimat, "Semoga Allah selalu menganugerahkan kedamaian kepada beliau."
Fredi--panggilan akrabnya--lahir di Sainte-Foy-les-Lyon, kawasan metropolitan di pinggiran Lyon, kota terbesar kedua di Prancis setelah Paris. Ayahnya adalah warga negara Mali yang lantas menetap di Paris saat berusia 21 tahun dan menjadi pekerja pabrik. Sang ayah menikah dengan perempuan Prancis, seorang profesor filsafat--ibu Kanoute.
"Keluarga kami bukan keluarga miskin, tapi juga tidak terlalu kaya," kata Kanoute. Pendidikan menjadi hal penting di keluarga mereka. Saudara laki-laki Fredi seorang doktor, saudara perempuannya guru sekolah perawat. Dia sendiri selalu diharapkan ayah-ibunya untuk masuk universitas.
"Tapi ayah, ibu, dan saudara-saudara saya tak keberatan saat saya memutuskan untuk berkarier sebagai pemain bola. Meski tentu saja mereka lebih suka bila saya meneruskan kuliah," ceritanya sambil tertawa.
Terbiasa dengan pola pikir filosofis yang diterapkan ibunya, Kanoute tumbuh menjadi pemuda yang selalu haus mencari jati diri. Di sela-sela latihan dan pertandingannya sebagai pemain muda Olympique Lyon, Kanoute mencoba merenungkan arti hidup.
"Saat itu saya sudah berpikir, pasti ada yang lebih bermakna daripada sekadar sepak bola," kenangnya. "Bukan berarti saya menganggap remeh sepak bola, bukan, sampai sekarang pun saya menganggap sepak bola penting bagi hidup saya."
Dari situlah dia menemukan Islam. Kanoute muda mengenal Islam dari lingkungannya yang banyak dihuni para imigran dari Afrika bekas jajahan Prancis. Karena tertarik, dia lantas mencari buku-buku rujukan.
Tepat pada tahun pertama memulai karier profesional bersama Lyon, musim 1997/1998, saat usianya 20 tahun, dia mengucapkan kalimat syahadat. Namanya lantas berganti menjadi Frederic Oumar Kanoute. Dia kemudian menikahi perempuan keturunan Mali, Fatima. Mereka telah dikaruniai dua putra: Ibrahim, 5 tahun, dan Iman, 3 tahun 6 bulan.
Setelah bermain untuk Lyon, 1997-2000, Kanoute merumput untuk West Ham di Liga Inggris (2000-2003) dan kemudian Tottenham Hotspur (2003-2005). Setelah itu Sevilla menjadi persinggahannya sejak dua musim lalu. Pada 2003, dia memutuskan untuk pindah kewarganegaraan menjadi Mali dan memperkuat tim nasionalnya. Padahal Fredi sempat membela tim nasional Prancis U-21.
Di mana pun dia berada, pemain bertinggi badan 192 sentimeter ini selalu tegas menyatakan bahwa dia seorang muslim. Dia salat lima waktu, tidak minum alkohol, dan menjauhi kehidupan malam. Saat Pangeran Charles mengunjungi Masjid Whitechapel, London Timur, pada 2003, dia menjadi salah satu orang yang menyambutnya.
Yang paling sulit bagi seorang pemain profesional seperti dia adalah beradaptasi dengan lingkungan dan kompetisi setempat, terutama bila bulan Ramadan tiba. Sebagai seorang muslim, dia harus melaksanakan puasa wajib. Sebagai pemain profesional, dia dituntut untuk selalu turun dalam kondisi fisik terbaik.
Empat hari menjelang Ramadan tahun ini, pelatih Sevilla, Juande Ramos, bertanya tentang pola makannya saat puasa. Ramos khawatir si penyerang andalnya akan kehilangan ketajamannya bila kondisi fisiknya menurun saat puasa.
"Saya sudah terbiasa sebelumnya. Saya telah berkonsultasi dengan dokter dan katanya tak ada masalah," ungkap Kanoute. "Bila pertandingan malam, saya berbuka sebelum bermain. Bila pertandingan sore, saya tidak puasa. Pada hari lain saya berpuasa sepenuhnya."
Sungguh sebuah perjuangan berat dari seorang pichichi yang ingin menjadi muslim yang kafah. EL PAIS |ETHNICMEDIA | ANDY MARHAENDRA
Koran Tempo, 24 September 2006
Subscribe to:
Posts (Atom)