Sindhunata
Saya suka sepak bola, juga drama. Tapi saya tidak mampu membaca bahasa drama dalam sepakbola. Beruntung, saya bisa menemukannya pada Sindhunata.
Dia seorang imam Katholik, anggota Yesuit. Sempat menjadi wartawan Kompas, kini dia menjadi redaktur Majalah Kebudayaan Basis. Ia mendapat gelar doktor dari Hochschule für Philosophie, Munich, Jerman, dengan sebuah disertasi tentang pengharapan mesianik masyarakat Jawa.
Berbagai buku sudah dia tulis. Novelnya yang terkenal adalah Anak Bajang Menggiring Angin. Dia menulis buku-buku lain, seperti Bayang-bayang Ratu Adil, Cikar Bobrok, Nderek Sang Dewi Ing Ereng-Erenging Redi Merapi, Semar Mencari Raga, Tak Enteni Keplokmu Tanpa Bunga, Telegram Duka, Zaman Edan, Celeng Dhegleng, Air Kata-kata (sebuah kumpulan puisi), dan Kambing Hitam.
Mungkin, latar belakang filsafat dan penulis ini yang membuat dia bisa memandang sepak bola secara manusiawi, bernuansa drama. Ada cerita sedih dan bahagia bertautan. Dia mungkin penganut kredo Albert Camus: Saya belajar hidup dari sepak bola.
Begitulah Sindhunata. Selalu ada pelajaran hidup dari sepak bola. Dan Sindhunata mengejawantahkannya dalam tulisan, karena dia bukan pemain bola. Tapi dia seperti berada di sana. Berbicara dari hati-hati dengan pemain, pelatih, lalu menceritakannya. Saya menikmatinya, hampir setiap hari.