Yang Siaga di Pintu Air
Jakarta disiram terik matahari pada Rabu siang pekan lalu. Cuaca yang agak berbeda setelah hujan mengguyur Jakarta beberapa hari sebelumnya.
Mimpri Masturi, 54 tahun, membuka bajunya. Bertelanjang dada, dia membuang gerah, berjalan melenggang di pekarangan seluas lapangan bulu tangkis di rumah jaga pintu air Manggarai, Jakarta Selatan. "Mumpung bisa nyantai," kata penanggung jawab pintu air Manggarai ini.
Cuaca cerah seperti hari baik buat Mimpri. Biasanya dia harus waspada terhadap mendung dan hujan. Namun, meski cuaca tenang, Mimpri tetap menjalankan pekerjaannya seperti biasa. Ia masih menyambung kontak dengan petugas penjaga pintu air di Depok dan Katulampa, Bogor, Jawa Barat. Maka radio tetap menyala dan suara panggilan sering datang lewat radio.
Dia juga masih memantau ketinggian air setiap jam. Ketinggian air ini dicatat pada daftar pencatat harian. Kemudian hasil pantauan ini dilaporkan ke Komando Pengendalian Banjir di Dinas Pekerjaan Umum DKI Jakarta di kawasan Jati Baru, Tanah Abang, Jakarta Pusat. Beginilah keseharian Mimpri.
Mimpri memang bertanggung jawab menjaga ketinggian air Sungai Ciliwung di pintu air Manggarai, tempat Sungai Ciliwung dibelah menjadi dua jalur. Satu jalur melewati Banjir Kanal, satu lagi yang disebut pintu air Ciliwung-Kota melewati kawasan elite seperti Menteng, Gunung Sahari, dan Kota.
Manggarai, kata Mimpri, adalah pintu pertama setelah air mengalir dari Depok. Ketinggian air di pintu air Manggarai bisa digunakan untuk memprediksi terjadinya banjir di kawasan Jakarta. "Karena itu, ketinggian airnya perlu diperhatikan."
Di tempatnya bekerja, sebuah ruangan berukuran 3 x 3 meter di pintu air Manggarai, Mimpri ditemani sebuah pesawat telepon, sebuah handy talkie, dan sebuah radio panggil. Semua barang ini fasilitas kerja dari Dinas Pekerjaan Umum DKI.
Sebagai hiburan, masih ada pesawat televisi 21 inci. "Ini patungan para penjaga yang bekerja di sini." Sebuah kail pemancing juga terlihat di pojok ruangan. "Buat selingan," katanya.
Mimpri sudah menjaga pintu air Manggarai sejak 1975. Awalnya, dia hanyalah seorang warga Manggarai yang bertetangga dengan pintu air. Lantaran rajin nongkrong di sana, Mimpri mulai tertular pekerjaan para penjaga pintu air. Ia akhirnya diangkat menjadi pegawai negeri sipil di Dinas Pekerjaan Umum DKI Jakarta.
Mulanya Mimpri hanya sekadar membantu membuka pintu air yang masih menggunakan engkol. Lama-kelamaan ia menjadi bagian dari penjaga pintu air. Ia sering diminta berjaga, walau bukan pegawai pintu air. "Akhirnya, saya ditawari menjadi pegawai negeri," ujarnya. Hingga sekarang, pegawai golongan II-C ini menjadi penjaga paling senior di pintu air Manggarai. "Bulan Mei nanti saya pensiun."
Kini Mimpri menempati satu ruangan di rumah jaga pintu air Manggarai. Ruangan berukuran kurang-lebih 50 meter persegi itu dia tempati bersama istrinya, seorang anak, menantu, dan seorang cucu.
Sebenarnya, Mimpri tidak sendiri menunggu pintu air Manggarai. Ia ditemani tiga orang penjaga lain. Satu di antaranya anak Mimpri, yang menjadi pegawai tak tetap di Dinas Pekerjaan Umum DKI.
Mereka bekerja 24 jam sehari. Sehari masuk, sehari libur. "Fleksibel," kata Mimpri. Namun, kata Mimpri, jam kerja mereka tidak jelas. Kadang semua penjaga harus berkumpul jika cuaca Jakarta buruk.
Sebagai penjaga senior, Mimpri cukup makan asam garam mengurusi pintu air. Pengalaman terburuk terjadi saat banjir besar melanda Jakarta pada 2002. Ketika itu, ketinggian air di pintu air Manggarai sudah mencapai 10,5 meter. Padahal titik aman air di Manggarai hanya 750 sentimeter. "Air sungai sudah luber ke jalan."
Saat itu, banyak warga yang rumahnya terendam banjir mengajukan protes karena pintu air Ciliwung-Kota tidak dibuka. Dilematis memang. Alasannya, jika pintu air ini dibuka, kawasan Menteng dan Istana Negara, yang notabene daerah bebas banjir, bisa terendam air. Lagi pula, kewenangan membuka pintu air tidak sepenuhnya berada di tangan penjaga.
Menurut Mimpri, jika air masih berada pada batas 750 sentimeter, petugas pintu air masih punya wewenang membuka-tutup pintu air. Jika pintu berada pada batas 750-850 sentimeter, wewenang sudah berpindah ke komandan operasional di Dinas Pekerjaan Umum DKI.
Pada level ketinggian air 850-950 sentimeter, Kepala Dinas Pekerjaan Umum DKI memegang wewenang keputusan buka-tutup pintu air. Jika ketinggiannya lebih dari 950 sentimeter, Gubernur DKI Jakarta yang bertanggung jawab. "Inilah yang disebut keadaan siaga I," kata Mimpri.
Ketika itu, ada dua peleton polisi dari satuan Brigade Mobil yang sempat menjaga pintu air Manggarai. Namun, warga masih terus mendesak agar pintu air Ciliwung-Kota dibuka.
I G.K. Suena, Kepala Dinas Pekerjaan Umum DKI saat itu, melapor ke Gubernur Sutiyoso untuk meminta izin membuka pintu air. "Ini terpaksa dilakukan, biar warga tidak makin terendam," katanya.
Akhirnya, Gubernur Sutiyoso waktu itu meminta izin Presiden Megawati Soekarnoputri karena ada kemungkinan Istana Negara akan terendam. Setelah Presiden oke, pintu air Ciliwung-Kota pun dibuka. Beberapa kawasan di Menteng terendam air, tapi Istana Negara masih bebas dari genangan air.
Mimpri mengatakan, menjadi penjaga pintu air memang harus sabar karena banyak warga menelepon mau tahu ketinggian air, terutama saat hujan lebat. "Biasanya warga yang tinggal di bantaran kali."
Menurut Kusharyanto, penjaga pintu air yang lain, telepon warga kadang terasa sangat mengganggu. "Rasanya seperti teror," kata petugas asal Purworejo, Jawa Tengah, ini. Bahkan, menurut Kus, kadang ada warga yang mengancam penjaga karena tidak percaya pintu air sudah dibuka untuk mencegah banjir.
Kus mengatakan, idealnya pintu air Manggarai dijaga enam orang penjaga. Tiga orang berjaga bergantian setiap hari. "Karena banyak pekerjaan yang harus ditangani," katanya.
Pekerjaan pertama menerima laporan ketinggian air lewat radio. Kedua, mencatat dan melaporkan ketinggian air ke pos komando banjir. Ketiga, mengoperasikan sarana dan prasarana seperti pintu air, diesel, dan ekskavator (pengeruk). "Belum petugas yang mengurusi wartawan," kata Kus berseloroh.
Namun, menurut Kepala Dinas Pekerjaan Umum DKI Jakarta Wisnu Subagyo Yusuf, jumlah penjaga di pintu air Manggarai sudah memadai. "Kondisi pintu air juga masih bagus karena terawat," kata Wisnu.
Di tengah kesibukannya, Mimpri dan rekan-rekannya masih bisa bersantai melepas penat, bermain bulu tangkis di halaman rumah jaga yang luas.
Koran Tempo, 5 Februari 2006