Protes
Nun dari negeri seberang lautan, seorang kawan mengirim pesan. Dia bertanya, mengapa halaman ini begitu kaku, tidak memberi ruang orang memberi komentar atas tulisan. Blaik!
Ini bukan yang pertama. Tapi, aku hanya bisa berkata bahwa ini sebuah halaman pribadi, yang sebenarnya tidak untuk dibaca orang. Tapi, karena kawan, banyak orang tahu dan membaca halaman ini. Dan komentar, membuat halaman tidak bebas menjadi diri sendiri. Inilah halaman tempat tidak mau peduli apa kata orang.
Jadi, maaf ya, ibu!
17 May 2005
Pulang
Ini masa kala penat begitu hebat menyergap. Menyita nalar dan jiwa hingga hampir tak bermartabat. Masa ketika rencana tak seindah alur mimpi. Begitu muram dan buram. Belum tak nyaman yang ikut datang menyerang. Juga malu. Sementara, tidak ada hati dan telinga bijak tersedia. Bahkan dari seorang (yang dianggap) dekat sekalipun. Duhai sunyi!
Sebuah pepatah bijak Cina berkata, jika kau mulai kehilangan arah hidup, kembalilah ke tempat kau berasal. Jadi, mungkin rumah bisa membawa tentram. Menemukan waktu kembali merenung di beranda, atau mendengarkan tetangga kampung akrab menyapa. Juga saat senggang menggandeng tangan ibu, mungkin meletakkan kepala dewasa ini di payudaranya, seperti masa kecil dulu. ("Kau perempuan hebat, yang meletakkan jiwa perempuan di jiwa ini," aku pernah menulis tentang dia suatu ketika)
Hidup seperti memaksa kita kembali ke awal. Masa-masa silam untuk membaca ulang hidup. Tentang aku, kau, kita, mereka dan entah siapa. Tentang keputusan, rencana, harapan, salah, kecewa, mengulang dan selanjutnya. Tentang kemarin, sekarang dan akan datang. Tapi bukan untuk tidak bertahan. "Bukankah kita tidak boleh takut menghadapi hidup," kata seorang kawan.
Jadi, ini waktu lupa Jakarta sementara. Semoga Tuhan juga hadir di sana. (Mengapa Kau mencintaiku dengan cara seperti ini?)
Ini masa kala penat begitu hebat menyergap. Menyita nalar dan jiwa hingga hampir tak bermartabat. Masa ketika rencana tak seindah alur mimpi. Begitu muram dan buram. Belum tak nyaman yang ikut datang menyerang. Juga malu. Sementara, tidak ada hati dan telinga bijak tersedia. Bahkan dari seorang (yang dianggap) dekat sekalipun. Duhai sunyi!
Sebuah pepatah bijak Cina berkata, jika kau mulai kehilangan arah hidup, kembalilah ke tempat kau berasal. Jadi, mungkin rumah bisa membawa tentram. Menemukan waktu kembali merenung di beranda, atau mendengarkan tetangga kampung akrab menyapa. Juga saat senggang menggandeng tangan ibu, mungkin meletakkan kepala dewasa ini di payudaranya, seperti masa kecil dulu. ("Kau perempuan hebat, yang meletakkan jiwa perempuan di jiwa ini," aku pernah menulis tentang dia suatu ketika)
Hidup seperti memaksa kita kembali ke awal. Masa-masa silam untuk membaca ulang hidup. Tentang aku, kau, kita, mereka dan entah siapa. Tentang keputusan, rencana, harapan, salah, kecewa, mengulang dan selanjutnya. Tentang kemarin, sekarang dan akan datang. Tapi bukan untuk tidak bertahan. "Bukankah kita tidak boleh takut menghadapi hidup," kata seorang kawan.
Jadi, ini waktu lupa Jakarta sementara. Semoga Tuhan juga hadir di sana. (Mengapa Kau mencintaiku dengan cara seperti ini?)
16 May 2005
Musim Ujian
"Oom, nyuwun donga pangestunipun (Oom, mohon doa restunya). Nifa, tanggal 16-18 Mei ujian sekolah. Tanggal 29 Mei-1 Juni ujian nasional. Moga bisa mengerjakan dengan mudah, benar semua, lulus, nilainya bagus." (sms dari Nifa)
"Yang Ti, Yang Kung, Budhe, Pak Dhe, Bulik, Om, nyuwun doa restu (mohon doa restu). Zulfi mulai 16 Mei-10 Juni ujian. Mudah-mudahan sehat dan bisa mengerjakan soal dengan baik." (sms dari Zulfi)
"Oom, nyuwun donga pangestunipun (Oom, mohon doa restunya). Nifa, tanggal 16-18 Mei ujian sekolah. Tanggal 29 Mei-1 Juni ujian nasional. Moga bisa mengerjakan dengan mudah, benar semua, lulus, nilainya bagus." (sms dari Nifa)
"Yang Ti, Yang Kung, Budhe, Pak Dhe, Bulik, Om, nyuwun doa restu (mohon doa restu). Zulfi mulai 16 Mei-10 Juni ujian. Mudah-mudahan sehat dan bisa mengerjakan soal dengan baik." (sms dari Zulfi)
05 May 2005
Konspirasi?
Seorang pemimpin redaksi, seorang pejabat, seorang presiden dan seorang pengusaha kawan presiden.
Suatu malam, sang pemimpin redaksi mengirim kabar kepada awaknya. Isinya tentang tindak pemukulan pejabat terhadap beberapa warga negara asing. Jangan dulu bicara benar atau tidak tentang kabar ini. Tapi, seorang pejabat yang melakukan pemukulan, apalagi terhadap warga sebuah negara yang banyak menanam budi di negeri ini adalah sebuah sensasi.
Dari mana sang pemimpin redaksi mendapat kabar? Mungkin dari perkawanannya dengan bule-bule itu. Maklum, dia cukup akrab untuk sekedar makam malam atau berkirim karangan bunga dengan sang duta besar. Yang jelas, saat mengirim kabar, sang pemimpin redaksi sedang berada di kejauhan lebih dari 300 kilometer di luar Jakarta.
Dari bilik lain, terdengar kabar seorang pengusaha kawan presiden hendak menggantikan pejabat yang main pukul. Maka, muncullah berita di koran, tentang seorang pejabat yang bermain peran melawan Rambo. Tapi apa hubungan pemimpin redaksi dengan presiden? Konon, saat masih menjadi calon presiden, "beliau" ini sempat mampir memberi dukungan sang pemimpin redaksi melawan preman. Foto mereka muncul di koran. Konon lagi, sang pemimpin redaksi menjadi salah satu penasehat presiden.
Hari berikutnya diwarnai bantah-berbantah di koran. Hingga akhirnya sang pejabat mundur, dan sang pengusaha menggantikan jabatan. Konspirasi? Entahlah. Tapi, kata seorang kawan, pergantian ini hanya menunggu waktu. Benar? Entah juga. Terlalu banyak tahu dan tidak tahu kadang sama saja. Sama-sama dibodohi. Siapa bisa dipercaya? Wah!
Lagipula, bukankah sebuah prestasi bagi wartawan, jika sebuah tulisan bisa mempengaruhi hidup orang? Punya jawaban?
Seorang pemimpin redaksi, seorang pejabat, seorang presiden dan seorang pengusaha kawan presiden.
Suatu malam, sang pemimpin redaksi mengirim kabar kepada awaknya. Isinya tentang tindak pemukulan pejabat terhadap beberapa warga negara asing. Jangan dulu bicara benar atau tidak tentang kabar ini. Tapi, seorang pejabat yang melakukan pemukulan, apalagi terhadap warga sebuah negara yang banyak menanam budi di negeri ini adalah sebuah sensasi.
Dari mana sang pemimpin redaksi mendapat kabar? Mungkin dari perkawanannya dengan bule-bule itu. Maklum, dia cukup akrab untuk sekedar makam malam atau berkirim karangan bunga dengan sang duta besar. Yang jelas, saat mengirim kabar, sang pemimpin redaksi sedang berada di kejauhan lebih dari 300 kilometer di luar Jakarta.
Dari bilik lain, terdengar kabar seorang pengusaha kawan presiden hendak menggantikan pejabat yang main pukul. Maka, muncullah berita di koran, tentang seorang pejabat yang bermain peran melawan Rambo. Tapi apa hubungan pemimpin redaksi dengan presiden? Konon, saat masih menjadi calon presiden, "beliau" ini sempat mampir memberi dukungan sang pemimpin redaksi melawan preman. Foto mereka muncul di koran. Konon lagi, sang pemimpin redaksi menjadi salah satu penasehat presiden.
Hari berikutnya diwarnai bantah-berbantah di koran. Hingga akhirnya sang pejabat mundur, dan sang pengusaha menggantikan jabatan. Konspirasi? Entahlah. Tapi, kata seorang kawan, pergantian ini hanya menunggu waktu. Benar? Entah juga. Terlalu banyak tahu dan tidak tahu kadang sama saja. Sama-sama dibodohi. Siapa bisa dipercaya? Wah!
Lagipula, bukankah sebuah prestasi bagi wartawan, jika sebuah tulisan bisa mempengaruhi hidup orang? Punya jawaban?
02 May 2005
Darsono
Darsono namanya. Kami tinggal satu lantai di rumah kontrakan yang sama. Namanya mengingatkan nama aktor dagelan Mataraman dari Yogya. Dulu aku sering melihat perawakan pelawak tua yang sering jadi bahan banyolan ini di televisi. Seperti orang Yogya umumnya yang lucu, Darsono yang ini juga tak kalah ndagel. Kadang dia mengeluarkan diksi yang sudah jarang aku dengar sejak meninggalkan masa kecil. "Met, kamu punya dosgreb (wadah pensil dan alat tulis zaman SD)?"
Tapi Darsono tidak suka melawak sekarang. Perasaannya sedang gundah. Selama ini dia merasa hidupnya rada berantakan. Tidak tentu arah dan depresi (dia juga seorang tukang mimpi). Hingga suatu ketika, seorang teman mengenalkannya dengan seorang perempuan alim. Setelah tujuh bulan berkenalan, Darsono memantapkan pilihan dan melamar sang pacar. "Aku sudah siap merubah jalan hidup."
Sayang, sang pacar terbelit masa lalu. Dia pernah menerima lamaran pacar dan merencanakan pernikahan. Tapi rencana berantakan karena sang pacar menikah dengan orang lain. Pacar Darsono trauma. Maka Darsono merana dalam ketidakpastian. Wajahnya sering muram menunggu jawaban. Wajah mengangkat beban.
Kadang Darsono menenteng gitar, menyepi di balkon rumah kontrakan. Dia menyanyikan lagu yang sedang menjadi elan perjuangannya. Sebuah lagu lama.
... di bening malam ini,
resah rintik gerimis datang
menghanyutkan sinar rembulan
buram kaca jendela,
seburam waktu yang berlalu
sedang ku masih menunggu
ungkapan rasa dari keinginan baikku
untuk bersama menempuh jalan hidup
Malam kemarin, dia menyanyikan lagu itu lagi. Aku mendekatinya, sekadar memastikan dia tidak sendiri. Aku biarkan dia menyelesaikan satu bait, dan mengisi interlude dengan petikan gitar. Saat nada memberi kesempatan, aku masuk menawarkan suara. Kebetulan aku juga menghafal syair lagu itu. "Suaramu lumayan juga," dia nyengir. Kali ini, kami berbagi beban. Dia menggenjreng gitar, aku menyanyikan lagu.
Darsono namanya. Kami tinggal satu lantai di rumah kontrakan yang sama. Namanya mengingatkan nama aktor dagelan Mataraman dari Yogya. Dulu aku sering melihat perawakan pelawak tua yang sering jadi bahan banyolan ini di televisi. Seperti orang Yogya umumnya yang lucu, Darsono yang ini juga tak kalah ndagel. Kadang dia mengeluarkan diksi yang sudah jarang aku dengar sejak meninggalkan masa kecil. "Met, kamu punya dosgreb (wadah pensil dan alat tulis zaman SD)?"
Tapi Darsono tidak suka melawak sekarang. Perasaannya sedang gundah. Selama ini dia merasa hidupnya rada berantakan. Tidak tentu arah dan depresi (dia juga seorang tukang mimpi). Hingga suatu ketika, seorang teman mengenalkannya dengan seorang perempuan alim. Setelah tujuh bulan berkenalan, Darsono memantapkan pilihan dan melamar sang pacar. "Aku sudah siap merubah jalan hidup."
Sayang, sang pacar terbelit masa lalu. Dia pernah menerima lamaran pacar dan merencanakan pernikahan. Tapi rencana berantakan karena sang pacar menikah dengan orang lain. Pacar Darsono trauma. Maka Darsono merana dalam ketidakpastian. Wajahnya sering muram menunggu jawaban. Wajah mengangkat beban.
Kadang Darsono menenteng gitar, menyepi di balkon rumah kontrakan. Dia menyanyikan lagu yang sedang menjadi elan perjuangannya. Sebuah lagu lama.
... di bening malam ini,
resah rintik gerimis datang
menghanyutkan sinar rembulan
buram kaca jendela,
seburam waktu yang berlalu
sedang ku masih menunggu
ungkapan rasa dari keinginan baikku
untuk bersama menempuh jalan hidup
Malam kemarin, dia menyanyikan lagu itu lagi. Aku mendekatinya, sekadar memastikan dia tidak sendiri. Aku biarkan dia menyelesaikan satu bait, dan mengisi interlude dengan petikan gitar. Saat nada memberi kesempatan, aku masuk menawarkan suara. Kebetulan aku juga menghafal syair lagu itu. "Suaramu lumayan juga," dia nyengir. Kali ini, kami berbagi beban. Dia menggenjreng gitar, aku menyanyikan lagu.
01 May 2005
Preman
Seorang preman mendatangi ibu penjual soto biasa aku mangkal. "Mingguan, Bu!" kata lelaki tambun bermata juling ini. Si ibu mengeluarkan selembar uang sepuluh ribuan dari laci gerobak.
Kata ibu, preman biasa mengutip uang harian dan uang mingguan. Dari uang harian, preman menerima seribu rupiah dari setiap pedagang. Dari pedagang ini, preman juga mengutip sepuluh ribu rupiah setiap hari Minggu. "Orangnya gonta-ganti mulu tiap Minggu," kata Ibu.
Di pasar ini, ada lebih dari 50 pedagang yang menggelar dagangan di pinggir jalan. Mereka hanya datang pada hari Minggu. Beberapa dari mereka juga menggelar dagangan setiap hari. Masih ada ratusan pedagang yang mempunyai kios di dalam pasar. Belum penjual makanan yang buka pada malam hari. Dengan modal ongkang-ongkang dan tampang sangar, berapa duit didapat preman saban hari, saban minggu?
Pernah, si preman menuang duit seribuan dari baskom. Dia menghitung uang di depan ibu-ibu, bapak-bapak pedagang yang rela berpanas-panas, berteriak menjual dagangan. "Duit banyak nih." Orang-orang cuma diam, memandang tumpukan uang berpindah ke genggaman tangan preman.
Seorang preman mendatangi ibu penjual soto biasa aku mangkal. "Mingguan, Bu!" kata lelaki tambun bermata juling ini. Si ibu mengeluarkan selembar uang sepuluh ribuan dari laci gerobak.
Kata ibu, preman biasa mengutip uang harian dan uang mingguan. Dari uang harian, preman menerima seribu rupiah dari setiap pedagang. Dari pedagang ini, preman juga mengutip sepuluh ribu rupiah setiap hari Minggu. "Orangnya gonta-ganti mulu tiap Minggu," kata Ibu.
Di pasar ini, ada lebih dari 50 pedagang yang menggelar dagangan di pinggir jalan. Mereka hanya datang pada hari Minggu. Beberapa dari mereka juga menggelar dagangan setiap hari. Masih ada ratusan pedagang yang mempunyai kios di dalam pasar. Belum penjual makanan yang buka pada malam hari. Dengan modal ongkang-ongkang dan tampang sangar, berapa duit didapat preman saban hari, saban minggu?
Pernah, si preman menuang duit seribuan dari baskom. Dia menghitung uang di depan ibu-ibu, bapak-bapak pedagang yang rela berpanas-panas, berteriak menjual dagangan. "Duit banyak nih." Orang-orang cuma diam, memandang tumpukan uang berpindah ke genggaman tangan preman.
Subscribe to:
Posts (Atom)