Doa
Diantara suasana tak menentu di sekeliling, yang membuat gerah dan pecah, juga acuh. Pun juga tak nyaman yang kian menyergap. Maka, lebih baik aku berdoa untukmu: semoga kau tak takut menghadapi hidup.
Apa kabar harapan?
14 January 2005
02 January 2005
Infeksi
Dia datang membawa luka. Bagian dari episode yang belum berakhir. Sebuah luka yang berubah menjadi tumor. Menghisap semangat dan harapan seperti dementor. Bahagia pun membentang nun tak berbilang. Menyisakan kerutan di wajah, legam hitam di mata, juga sakit yang datang melenggang. Dan aku terinfeksi. Sebab separuh jiwa yang aku tanam sepenuh hati.
Dia kelopak bunga, yang layu tak bersiram semangat. Pada setiap ranting dan dahannya tumbuh benalu, yang datang dari takut dan ragu. Hidup seperti tak pernah mengajarkannya bangkit. Baginya, hidup hanya memberi satu pelajaran: terpuruk. Endapan mengerak di kepala, sebab waktu bertahun yang terbuang sia-sia. Keberulangan, itu sebab hinggap rasa takut.
Jangan pernah bertanya tentang matahari, yang mulai enggan muncul di pagi hari. Matahari tak lagi berarti, karena tak mampu membakar semangat nurani. Peduli tak juga menjadi makanan bagi akar jiwanya. Malah datang celaka. “Kau semakin membuatku terpuruk, karena puisimu,” dia bilang. Hwarakadah! Sejuta topan badai!
Ini mungkin datang dari semangat tak pernah henti, tapi tak bersambung karena datang dari sebelah hati. Sebab dia memilih berlama berkubang takut dan bimbang. Celaka ini mungkin datang dari kabut tak sabar yang menyelimuti. Asal muasal takut hilang kesempatan dan kehilangan dirinya.
Tapi aku sudah terinfeksi. Sebab separuh jiwa yang aku tanam sepenuh hati.
Maka, aku tak mau pergi. Penyakit ini seperti ingin membuatku bertahan. Dia menantang, agar aku harus bisa melalui jalan terjal ini. Dan aku tidak menyerah. Tidak semudah itu. Tidak bisa aku tak peduli. Membiarkan dia sendiri, terpuruk, tergulung ombak bimbang mengucil diri.
Aku masih berjalan menimbang pilihan. Menjadikanku matahari baginya, atau sekedar melintas menjadi kenangan. Entahlah. Ini belum berhenti. Aku harus tahu akhir cerita ini.
Dia datang membawa luka. Bagian dari episode yang belum berakhir. Sebuah luka yang berubah menjadi tumor. Menghisap semangat dan harapan seperti dementor. Bahagia pun membentang nun tak berbilang. Menyisakan kerutan di wajah, legam hitam di mata, juga sakit yang datang melenggang. Dan aku terinfeksi. Sebab separuh jiwa yang aku tanam sepenuh hati.
Dia kelopak bunga, yang layu tak bersiram semangat. Pada setiap ranting dan dahannya tumbuh benalu, yang datang dari takut dan ragu. Hidup seperti tak pernah mengajarkannya bangkit. Baginya, hidup hanya memberi satu pelajaran: terpuruk. Endapan mengerak di kepala, sebab waktu bertahun yang terbuang sia-sia. Keberulangan, itu sebab hinggap rasa takut.
Jangan pernah bertanya tentang matahari, yang mulai enggan muncul di pagi hari. Matahari tak lagi berarti, karena tak mampu membakar semangat nurani. Peduli tak juga menjadi makanan bagi akar jiwanya. Malah datang celaka. “Kau semakin membuatku terpuruk, karena puisimu,” dia bilang. Hwarakadah! Sejuta topan badai!
Ini mungkin datang dari semangat tak pernah henti, tapi tak bersambung karena datang dari sebelah hati. Sebab dia memilih berlama berkubang takut dan bimbang. Celaka ini mungkin datang dari kabut tak sabar yang menyelimuti. Asal muasal takut hilang kesempatan dan kehilangan dirinya.
Tapi aku sudah terinfeksi. Sebab separuh jiwa yang aku tanam sepenuh hati.
Maka, aku tak mau pergi. Penyakit ini seperti ingin membuatku bertahan. Dia menantang, agar aku harus bisa melalui jalan terjal ini. Dan aku tidak menyerah. Tidak semudah itu. Tidak bisa aku tak peduli. Membiarkan dia sendiri, terpuruk, tergulung ombak bimbang mengucil diri.
Aku masih berjalan menimbang pilihan. Menjadikanku matahari baginya, atau sekedar melintas menjadi kenangan. Entahlah. Ini belum berhenti. Aku harus tahu akhir cerita ini.
01 January 2005
Hari-hari Entah Arti
Hari-hari penuh bimbang. Sebab berjuta bayangan bersliweran di kepala. Kau, dia, mereka, kawan-kawan, pekerjaan. Lalu datang bimbang, seperti biasa. Mengapa bimbang selalu akrab denganku?
Di saat seperti itu, datang kawan mengenalkan seorang bapak. "Dia bisa terapi dzikir," kata kawan manisku. Aku coba, dan bercerita tentang kalut. Bapak itu bilang, kamu datang membawa lubang besar di dada. Ya, aku memang merasakannya.
Dia menebak jalan cerita. Episode apa yang akan terjadi dalam hidupku. Tak semua dibuat gamblang. Sebagian cerita membuat jelas, sebagian lagi berakhir dengan bimbang, seperti biasa. "Aku hanya membantu," kata dia. Dia berpesan, tunggu dia menyelesaikan masalahnya.
Aku cuma diam. Dengan sekali memejam mata, bapak ini bisa tahu semua yang ada di kepalaku. Jangan-jangan dia membaca dosa-dosaku. Malu juga. Ah, biarlah.
Malam ini, aku ingin bertemu bapak itu. Tapi dia pergi. Sepertinya, banyak orang yang ingin membuang lubang hitam di dada. Seperti aku. Lalu bimbang kemudian, seperti biasa. Dan aku menunggu tahajudku. Membuang semua lubang hitam itu.
Hari-hari penuh bimbang. Sebab berjuta bayangan bersliweran di kepala. Kau, dia, mereka, kawan-kawan, pekerjaan. Lalu datang bimbang, seperti biasa. Mengapa bimbang selalu akrab denganku?
Di saat seperti itu, datang kawan mengenalkan seorang bapak. "Dia bisa terapi dzikir," kata kawan manisku. Aku coba, dan bercerita tentang kalut. Bapak itu bilang, kamu datang membawa lubang besar di dada. Ya, aku memang merasakannya.
Dia menebak jalan cerita. Episode apa yang akan terjadi dalam hidupku. Tak semua dibuat gamblang. Sebagian cerita membuat jelas, sebagian lagi berakhir dengan bimbang, seperti biasa. "Aku hanya membantu," kata dia. Dia berpesan, tunggu dia menyelesaikan masalahnya.
Aku cuma diam. Dengan sekali memejam mata, bapak ini bisa tahu semua yang ada di kepalaku. Jangan-jangan dia membaca dosa-dosaku. Malu juga. Ah, biarlah.
Malam ini, aku ingin bertemu bapak itu. Tapi dia pergi. Sepertinya, banyak orang yang ingin membuang lubang hitam di dada. Seperti aku. Lalu bimbang kemudian, seperti biasa. Dan aku menunggu tahajudku. Membuang semua lubang hitam itu.
Subscribe to:
Posts (Atom)