24 April 2005

Di Pasar Mencos

Di antara kawasan segitiga penting Kuningan-Sudirman-Casablanca, terselip sebuah perkampungan bernama Karet. Dulu aku tidak pernah membayangkan sebuah perkampungan di balik rerimbunan gedung tinggi di kawasan ini. Aku tinggal di Karet Belakang (orang kampung menyingkatnya Karbela, mirip nama kota di Irak), salah satu nama jalan bermarga Karet di kawasan ini.

Di dekat tempat tinggalku tersebutlah sebuah pasar bernama Pasar Mencos. Entah dari mana nama itu muncul. Sebab, nama resmi pasar ini Pasar Karet Belakang. Mungkin nama ini muncul dari bentuk pasar yang tidak tepat persegi, sehingga terkesan mencos (bahasa Jawa, artinya miring/tidak lurus).

Di Pasar Mencos, hari Minggu adalah hari istimewa. Hari dimana semua berhak melakukan segala hal berdalih "pasar". Orang bebas berjualan di pinggir jalan, tidak peduli merintang jalan. Sepeda motor dan angkutan bebas berhenti di tengah jalan, memakan jalan yang tidak seberapa lebar. Tidak boleh ada yang menggerutu karena kemacetan di tempat ini. Namanya juga pasar, ini kredonya.

Di hari Minggu kemarin, tidak hanya macet di Pasar Mencos. Seorang ibu dengan tiga anak--satu digendongan, dua masih kecil selalu ribut minta jajanan--berdiri termangu di pinggir jalan. Tatapannya kosong. Ada bekas air mata di pipi legamnya. Tiga tas plastik menggantung di tangannya. Beberapa orang mencoba menenangkannya. Tapi si ibu masih menggerutu.

Di pinggir jalan itu, si ibu bercerita. Saat berdiri menikmati CD bajakan yang tersebar di salah satu tenda, dompet di sakunya raib. Uang Rp 400 ribu-nya hilang entah kemana. Tapi si anak yang paling besar--mungkin masih kelas 1 SD--melihat seorang perempuan merogok saku ibunya. Tapi si anak diam saja. Tinggal si ibu bengong batal bayar CD bajakan.

Di samping ibu itu, aku menikmati semangkuk soto Lamongan. Menyaksikan tatapan kosong si ibu. Tangannya mengusap air mata, tanpa peduli rengekan si anak yang mengganggu merayu ibu membeli jajanan. Mungkin si ibu belum menemukan jawaban untuk suami di rumah. Empat ratus ribu mungkin sangat berharga bagi mereka.

Di depanku, seorang perempuan melongok tumpukan CD bajakan. Sebuah dompet menyembul di saku belakang celana jeansnya, menggoda tangan. Dua orang lelaki di belakangnya. Seperti tersadar, si perempuan meraba dompetnya. Ah, masih ada. Tapi si ibu sudah hilang dari pandangan.

22 April 2005

Tercecer

Ibarat kereta, yang sarat penumpang dan melaju kencang. Aku terpelanting karena desakan penumpang. Aku berlari mengejar. Tapi semakin tertinggal.

Ah, mungkin masih ada kereta yang lain. Biar sekarang aku tetap berjalan.

14 April 2005

Faqr

Seperti bertemu dementor, direnggut nafas sekarat, mengkerut dililit anti semangat. Setiap saat. Padam. Buram. Jumud.

13 April 2005

Dunia Pura-pura

Pada sebuah episode, aku melihatnya begitu memukau. Tertawa renyah, senyum mengembang. Gaya omongnya cerdas, begitu juga saat mengatur alur bicara. Tubuh tambunnya bukan masalah besar untuk tampil menawan. Setidaknya dari apa yang dia omongkan. Menurutku, dia orang pintar. Menurutku pula, aku tidak melihat ada masalah dalam dirinya.

Pada suatu pagi, wajahnya terpampang di televisi. Suaranya bergetar, bercerita tentang keretakan rumah tangganya. Dia bercerita tentang kelainan seks suami, dan harta yang dia anggap susah payah dia kumpulkan. Penderitaan terpendam yang tidak terungkap di wajah dan senyumnya. "Kalau saya terlihat riang, itu semua karena tuntutan pekerjaan," katanya.

Pagi itu, aku mengenalnya sebagai Dewi Hughes.

03 April 2005

Entah

Bukan hanya sekali, tapi ini perasaan apa? Gundah gulana, kecewa, sakit hati, takut atau mata buta? Kau tahu?