18 April 2004

Space

"Ingat, space itu mahal." Kata guru belajar menulis kami.

16 April 2004

Oleh-oleh dari Ujung Kulon

(Akhir Februari lalu, Taman Nasional Ujung Kulon menggelar sensus badak. Ini momen langka. Bayangkan menghitung populasi badak Jawa (Rhinocerus sondaicus), yang berada di tengah hutan, dan emoh ketemu manusia. Ini dia oleh-olehnya.)

Pagi yang murung di Tanjung Lame, Ujung Kulon, Jawa Barat. Mendung menggantung di langit sejak malam. Sementara, angin laut utara bertiup pelan dari Teluk Selamat Datang. Tidak membawa semangat. Sepertinya hujan akan turun lagi, seperti hari-hari belakangan di semenanjung paling barat Pulau Jawa ini.

Di tanah lapang seluas lapangan bola di base camp Taman Nasional Ujung Kulon ini, puluhan orang seperti tidak peduli dengan gelagat cuaca buruk itu. Mereka berjajar, membentuk barisan layaknya pasukan. Kebanyakan menggunakan seragam hijau muda, dengan badge bertuliskan POLHUT--kependekan dari Polisi Hutan--yang menempel di dada sebelah kiri. Badge Balai Taman Nasional Ujung Kulon juga menempel di lengan kiri seragam mereka.

Sebagian dari "pasukan" itu menggunakan seragam hitam-hitam. Label Rhino Monitoring and Protecting Unit--nama unit khusus di Taman Nasional Ujung Kulon yang mengurusi badak--menempel di dada sebelah kiri. Tidak sedikit pula anggota pasukan yang memakai kaos putih, dengan tulisan Sensus Badak 2004 di bagian punggung.

Tas ransel menempel di punggung anggota pasukan ini. Ranselnya besar dan tinggi, hingga melewati batas kepala ketika dipanggul. Sebuah golok panjang menggantung di pinggang anggota pasukan. Mirip pendekar Banten. Asesoris pasukan ini semakin lengkap dengan sepatu boot menutup betis.

Ini bukan unjuk kekuatan pendukung Akbar Tandjung, yang meminta MA mengabulkan kasasi. Mereka adalah barisan petugas sensus badak Jawa yang digelar Taman Nasional Ujung Kulon. Pasukan ini akan hidup di hutan, paling tidak dalam beberapa hari untuk mencari jejak badak. Bila nasib mujur, mereka bisa bertemu mamalia bercula yang hidup di Ujung Kulon, dan susah ditemui ini.

Tradisi tahunan kali ini digelar Rhino Monitoring and Protection Unit (RMPU). Unit dari Taman Nasional Ujung Kulon ini mempunyai tugas khusus mengurusi badak Jawa. Unit ini terdiri dari anggota masyarakat, lembaga nirlaba dan perguruan tinggi yang peduli badak. Organisasi pemerhati lingkungan World Wide Fund for Nature (WWF) Indonesia, melalui cabang proyeknya di Ujung Kulon juga terlibat dalam kegiatan ini.

Seperti tahun-tahun sebelumnya, petugas sensus dibagi dalam unit-unit kecil. Jumlah anggota di setiap unit bervariasi, antara 4-8 orang. Anggota unit terdiri dari anggota RMPU, polisi hutan, dan porter yang membawa perbekalan. Setiap unit mempunyai kepala unit, yang bertanggung jawab atas keselamatan anggota unit dan data-data sensus yang diperoleh di lapangan.

Pada setiap unit dibekali satu alat penentu posisi Global Positioning System (GPS), kompas, peta, buku panduan sensus dan thally sheet, untuk mencatat data sensus. Lembar laporan ini berisi rincian data badak yang ditemukan, seperti ukuran jejak badak, vegetasi (tumbuhan yang dimakan badak) dan temuan lain, seperti bekas goresan di batang pohon, atau pola patahan pada tumbuhan yang dimakan badak. Sementara, buku panduan berisi rincian tugas masing-masing petugas, serta ciri-ciri jejak badak untuk menentukan umur jejak, dan cara mengukur jejak badak.

Setiap unit menempuh medan kerja yang disebut transek. Ini semacam jalur yang harus ditempuh selama sensus. Sensus badak Ujung Kulon menggunakan 15 transek permanen, yang membelah semenanjung Ujung Kulon dari utara ke selatan. Kelima belas transek ini berjajar berurutan, dari timur hingga bagian barat semenanjung Ujung Kulon. Setiap transek dipisahkan jarak selebar 2 kilometer.

Menurut Kepala Balai Taman Nasional Ujung Kulon Awriya Ibrahim, sejak lima tahun terakhir, sensus dengan 15 transek permanen ini menjadi metode paten sensus badak Jawa di Ujung Kulon. "Kebetulan metode ini paling murah, dan hasilnya bisa diperoleh dalam waktu singkat," kata Awriya.

Pada peta, transek ini membentuk garis lurus dari pantai utara ke pantai selatan Ujung Kulon. Padahal, daratan di Taman Nasional Ujung Kulon, yang luasnya sekitar 76.214 hektar dari luas keseluruhan taman sebesar 120.552 hektar, mempunyai beragam bentuk fisik, seperti dataran tinggi atau rawa-rawa.

Oleh karena itu, menurut Project Officer WWF Ujung Kulon Ridwan Setiawan, setiap transek mempunyai karakteristik berbeda. "Ada transek yang panjangnya hanya 200 meter. Tapi medannya berupa rawa setinggi dada," kata staf WWF yang biasa dipanggil Iwan Podol ini. Kondisi alam yang beragam ini mempengaruhi waktu tempuh untuk menyelesaikan transek.

Untuk urusan sensus badak, Iwan adalah seorang tenaga lapangan yang berpengalaman. Menurut dia, ada tiga jalur berat dari kelima belas transek ini. Medan berat itu berada di transek 9, 10 dan 11. Butuh waktu sekitar lima sampai delapan hari untuk menempuh masing-masing transek ini. Masalahnya, transek-transek ini melewati rawa-rawa dan sungai. Tiga jalur ini juga melewati kebun rotan yang luas.

Selain rawa, rotan menjadi cerita menjengkelkan bagi petugas sensus yang masuk hutan. Rotan punya karakteristik merambat. Biasanya rotan membentuk dinding yang rapat. Pada setiap bagian pohonnya tumbuh duri, bahkan pada ujung daun sekalipun. Duri inilah yang sering menjebak dan menghambat perjalanan. "Rotan bikin stres," keluh Iwan.

Soal rotan ini, Budiyanto, seorang Jagawana, punya cerita lain. Suatu ketika, Budiyanto membawa unitnya melewati hutan rotan yang padat. Begitu padatnya, hingga unit Budiyanto butuh waktu lama membabat rotan untuk membuka jalan. Unit Budiyanto kewalahan. "Dalam sehari, kami hanya menempuh 200 meter," kata Budiyanto.

Di Ujung Kulon, cerita menembus hutan sama menariknya dengan pengalaman bertemu badak. Asep, seorang aktifis lembaga swadaya Pemuda Pecinta Alam (Papila) punya cerita. Sebenarnya, Asep sudah terlibat sensus badak sejak tahun 1986. Kebetulan, Papila menjadi salah satu langganan peserta sensus. Namun, baru pada sensus tahun 1990 Asep bisa bertemu badak secara langsung. "Pertama saya bertemu badak di sungai. Yang kedua, saya menemukan badak mati," cerita Asep bangga.

Bertemu badak seperti sebuah momen mahal. Karena itu, banyak orang berharap bertemu badak. Uniknya, ketika bertemu badak, yang muncul kemudian adalah cerita-cerita lucu. Dengarkan cerita Asep yang lain.

Suatu ketika, lima rekannya di unit lain bertemu seekor badak. Karena merasa terganggu, badak mengamuk. Dalam keadaan seperti ini, satu-satunya jalan menyelamatkan diri adalah memanjat pohon. Ini prosedur standar melarikan diri dari kejaran badak. Akhirnya, sebuah pohon pinang menjadi penyelamat. Menahan beban lima orang, pohon pinang sampai melengkung ke bawah. Sementara badak menunggu di bawah. Ketika badak berlalu, kelima orang ini hanya bisa tertawa sambil mengelus dada. "Bayangkan, memanjat pinang dalam keadaan hujan dan bersepatu boot. Kalau tidak dikejar badak, mana bisa," Asep tergelak.

Susahnya mengendus badak ini juga aku alami. Kebetulan kantorku mengirim aku untuk ikut momen langka ini. Perjalanan tiga hari dua malam di hutan hanya menemukan satu jejak badak. Itu pun jejak lama, yang berumur satu bulan lebih.

Kebetulan, aku berada di unit 14. Transek 14 adalah dua transek terakhir yang berada di bagian barat semenanjung Ujung Kulon. Panjang transek ini kurang lebih 7 kilometer, yang membentang dari Cijengkol menuju Cinogar di pantai utara semenanjung Ujung Kulon.

Di Cijengkol, titik awal transek ini hanya berupa tonggak kayu bercat kuning setinggi 75 centimeter. Menuju Cijengkol harus menempuh perjalanan laut selama 3,5 jam dari Tanjung Lame. Setelah kapal berhenti di Cidaon, perjalanan dilanjutkan melalui darat, menembus hutan selama satu jam.

Sesuai prosedur, sebenarnya panitia harus membersihkan transek sebelum sensus dilakukan. Maksudnya, agar unit tidak kesasar mengikuti jalur yang sudah ditentukan. Saat menempuh transek 14, jalur masih tertutup lebatnya hutan. Tidak terlihat jalan setapak. Akibatnya, jalur baru harus dibuka. Sialnya, GPS tidak berfungsi selama perjalanan. Tinggal kompas menjadi satu-satunya andalan di perjalanan.

Setelah bermalam di hutan Cijengkol, perjalanan dilanjutkan dengan menyeberangi sungai Cijengkol, dengan kedalaman air setinggi perut dan berarus deras. Hampir sepanjang jalan, transek ini melewati dataran rendah yang berair, yang merupakan cabang-cabang sungai Cijengkol. Dataran tinggi Telanca cukup menguras tenaga karena lerengnya yang curam. Rotan yang menjebak, dan langkap mendominasi pemandangan sepanjang rute. Setelah melewati dataran tinggi Telanca inilah, jejak badak ditemukan di antara tanaman langkap.

Menurut Iwan Podol, sebenarnya jejak badak sering ditemukan di transek 14 ini. Bahkan, dua tahun lalu, petugas sensus sempat memergoki seekor badak di jalur ini. "Jika jeli, di jalur ini ada tiga kubangan badak," pesan Iwan sebelum masuk hutan. Sayang, sepertinya kali ini nasib sedang tidak mujur.

Satu hal menarik dari sensus kali ini adalah bergabungnya para pensiunan Jagawana dalam barisan petugas sensus. Para pensiunan, yang rata-rata berusia 60 tahun ini bergabung dengan staf baru Taman Nasional Ujung Kulon, yang relatif lebih muda, bahkan baru pertama kali masuk hutan. Panitia Sensus Badak 2004 memang sengaja memasang tendem pensiunan yang berpengalaman dengan staf baru. "Yang berpengalaman harus membimbing yang muda," kata Koordinator Sensus Badak 2004 Mamat Rahmat.

Salah seorang pensiunan yang ikut bergabung adalah Sarija. Di Ujung Kulon, nama Sarija menjadi bagian dari legenda orang-orang yang bergelut dengan badak. Berkembang cerita di Ujung Kulon, Sarija adalah salah seorang petugas Jagawana yang punya kemampuan tidak tercium badak. Karena itu, dengan mudah Sarija bisa bertemu badak.

Sarija hanya tertawa mendengar cerita kedigdayaannya itu. Sarija tidak mengelak, jika di masa tugasnya sebagai Jagawana dulu sering bertemu badak. Namun, menurut Sarija, keberuntungan itu bukan karena hal mistik. "Tapi karena saya suka masuk hutan," ujar kakek berusia 59 tahun ini.

Sarija juga sempat meninggalkan kenang-kenangan kepada badak Ujung Kulon. Seekor badak diberinya nama si Robot. Perilaku badak ini selalu main serobot jika bertemu manusia. Maka lahirlah nama si Robot, dari kata serobot itu. Kalangan pemburu badak mengenal Robot sebagai badak galak, dan paling besar ukurannya. "Beratnya kira-kira 1,5 ton," kata Sarija.

Tiga tahun lalu, setelah mengabdi selama 26 tahun, Sarija pensiun dari Jagawana. Kali ini, Sarija datang sebagai tamu undangan sensus badak. Meski usianya mendekati enam puluh tahun, Sarija mengaku tak gentar menembus hutan bertemu badak. "Saya masih sehat secara fisik," pamer Sarija, yang pernah nyaris kena tembak saat memergoki pencuri badak.

Selain Sarija, Saridan, seorang pensiunan Jagawana yang lain, juga ikut bergabung dalam barisan petugas sensus. Sepertinya halnya Sarija, Saridan juga kenyang pengalaman bertemu badak. Suatu ketika di tahun 1971, Saridan pernah diserang induk badak yang baru saja melahirkan anak. Beruntung, Saridan bisa berlindung pada sebuah pohon.

Pengalaman paling mengesankan bagi Saridan adalah saat mendampingi Dr. Rudolph Schenckel, seorang ilmuwan Swiss yang menjadi utusan WWF International. Sejak tahun 1962 sampai 1970, Schenckel dan istrinya melakukan penelitian badak Jawa di Ujung Kulon. Salah satu warisan Schenckel adalah metode penelitian jejak dengan transek permanen, yang sekarang digunakan Taman Nasional Ujung Kulon.

Saridan bertemu Schenckel pada tahun 1967. Ketika itu, Saridan bertugas di Pulau Peucang, sebuah pulau kecil di bagian barat semenanjung Ujung Kulon. Menurut Saridan, hampir setiap hari Schenckel mengajak Saridan masuk hutan. "Schenckel tidak hanya meneliti badak. Tapi juga sungai dan kekayaan alam lain," kata Saridan.

Dari Schenckel, selain belajar tentang badak, Saridan juga sedikit belajar gaya hidup orang Barat. Berkat Schenckel, untuk pertama kali Saridan mengenal sepatu saat masuk hutan. Sebelumnya, Saridan hanya bertelanjang kaki. Saridan juga dekat dengan istri Schenckel yang seorang dokter. Pada tahun 1967, berkat istri Schenckel ini, Saridan ketahuan mengidap malaria.

Menjelang hari-hari terakhirnya di Ujung Kulon, Schenckel memberi hadiah sebuah jam tangan kepada Saridan. Belakangan hari, setelah tugasnya sebagai Jagawana berakhir pada tahun 1999, Saridan baru mendengar kabar kematian Schenckel.

Kini, setelah hampir empat tahun pensiun sejak mengabdi dari tahun 1962, Saridan kembali ke hutan. "Semangat saya masih tinggi," ujar kakek 61 tahun ini. Saridan tidak takut bertemu badak. Malah, kakek delapan cucu ini merasa tertantang jika menemukan jejak badak. "Saya akan kejar terus jejaknya," kata Saridan.

Pagi itu, Sarija dan Saridan seperti sesepuh yang turun gelanggang. Saat hujan mereda, mereka menenteng tas, ikut masuk hutan. Petugas sensus yang lebih muda mendekat padanya. Mungkin sekedar meminta nasehat, tentang cara menghindar dari kejaran badak.

15 April 2004

Rumor

Seorang kawan di kantor bertanya, "Apa yang bisa kau katakan tentang tempat kita?" Kepadanya, aku hanya bisa mengatakan satu hal: rumor.

"Kenapa?" kawanku penasaran.

"Disini, rumor teramat kejam. Menusuk tanpa ampun. Menghujam tanpa belas kasihan. Tragisnya, itu datang dari orang-orang yang berada di dekatmu. Mereka mencabik-cabik sambil tertawa. Dan tak lupa mereka berkata, 'Aku kawanmu!' Uh! Mereka menusukkan pisau ke ulu hati dengan keriangan. Keriangan memang kredo mereka. Karena itu, mereka tak pernah peduli dengan sakitmu."

"Tapi kau tertawa?"

"Tidak. Aku hanya tidak pandai mengungkapkan rasa."