25 March 2004

Partai Djarum

Awal tahun lalu, banyak orang pandai meramal hiruk pikuk menjelang Pemilu. Dan sekarang, sejak tanggal 11 Maret lalu, hiruk pikuk itu benar-benar nyata. Di jalanan, televisi, koran, tembok dan pepohonan di pinggir jalan, semua bicara Pemilu. Lambang partai dan gambar-gambar orang tak aku kenal terpajang di sembarang tempat. Juga janji-janji mereka. Seperti sampah.

Aku melewatkan halaman Pemilu di koranku. Juga ulasan pengamat di televisi. Kadang aku bertanya, apakah semua orang membaca berhalaman koran untuk mengunyah serapah itu. Apakah orang setia menunggui tayangan macam ini. Tapi aku yakin, banyak orang peduli dengan semua ini. Jadi, aku pikir, ya sudah, biar semua ini menjadi urusan yang peduli itu. Sementara aku, seperti melewati bulan-bulan paling memuakkan.

Lalu, muncullah sebuah iklan simpatik di televisi. Tentang sebuah persahatan sejati, "karya" Djarum. Ini perusahaan rokok terkenal. Tapi aku tidak tahu siapa bikin iklannya. Pasti iklan ini populer, karena panjangnya enam menit, menghabiskan jatah durasi iklan saat jeda tayangan.

Ini iklan melankolis, tentang persahatan dua sahabat. Dengan sebuah kesan happy ending tentunya. Mungkin, jika Tarantino atau Innaritu yang jadi sutradara, iklan linier ini bisa berantakan. Meskipun bukan berarti kehilangan nafas pesan ademnya.

Coba ikuti jalan hidup dua orang Bali dalam iklan ini. Dari kecil, dewasa, percikan kecil sebab perempuan, happy ending, dan ombak nostalgia. Ada sedikit bahan untuk tersenyum. Sebuah oase di gurun janji Pemilu yang memuakkan.

Sayang, Djarum bukan sebuah partai yang sedang pamer janji. Jika saja, Djarum sebuah partai, sepertinya aku tidak perlu bingung menentukan pilihan pada Pemilu nanti. Kalaupun aku ikut andil.