01 June 2004

Tentang Abramovich

Sepakbola seperti berbicara tentang kehidupan. Ada ambisi dan keserakahan. Seakan, orang ingin menguasai dunia dengan sepakbola. Lalu, orang seperti dihadapkan kepada sebuah pilihan. Memilih mengabdi kepada uang atau "yang lain".

Roman Abramovich, orang Rusia yang membeli Chelsea, salah satu klub sepakbola Inggris, adalah seorang penggoda. Dia pamer duit miliaran rupiah kepada pemain bintang, agar mau bergabung dengannya. Inilah sisi dilematis pilihan itu.

Kemudian aku menemukan ulasan Rob Hughes di Tabloid Bola Edisi Selasa, 1 Juni 2004. Aku cuplik sebagian, untuk menawarkan semangat kredo "tidak semua kemenangan bisa dibeli dengan uang." Ini dia:

" ... Abramovich adalah kriminalis. Ia adalah salah satu dari delapan orang yang disebut Oligarchy, pengusaha yang mengambil alih sumber daya minyak dan gas ketika penguasa komunis runtuh.

Beberapa dari mereka berada di penjara, sementara Abramovich menikmati kebebasannya dan berambisi untuk membeli semua makhluk berkaki dua di permainan elite sepakbola Eropa.

Pembawa tasnya, termasuk Direktur Eksekutif Peter Kenyon, yang mengkhianati Manchester United untuk bergabung dengan Chelsea, bersikap tidak acuh bahwa seorang pemain atau pelatih tertentu telah dimiliki secara sah oleh klub lain.

Mereka menghambur-hamburkan uang milik Abramovich untuk melihat setinggi apa para pemain yang mereka inginkan mampu meloncat.

Mereka menilai setiap orang dengan harga tinggi. Bahkan, seperti yang kita lihat di Milan, Perdana Menteri Italia harus membayar mahal untuk menahan Shevchenko, yang telah sukses di lapangan hijau.

Apa yang Abramovich ketahui dan pedulikan mengenai nilai-nilai sepakbola? Dia adalah pria terkaya di Inggris. Penghasilannya yang berjumlah miliaran keluar dari tanah Siberia. Kini ia juga menginginkan trofi Liga Champion."


Jadi, seperti halnya kehidupan, sepakbola menawarkan pilihan. Termasuk mengesampingkan cerita keserakahan di belakang sepakbola, untuk lebih peduli dengan kenikmatan tontonan permainan apik di televisi.