09 September 2016

Seribu Tahun

Menjelang maghrib, muazin di masjid menyenandungkan lagu lama. "Walaupun hidup seribu tahun, kalau tak sembahyang, apa gunanya."

Saya sering mendengar lagu tersebut, di televisi atau di bus kota saat hari Jumat. Menurut saya, pengamen bus kota juga tahu positioning. Saat hari Jumat, mereka menyanyikan lagu religius. Orang pun memberi uang, karena lagu religius dirasa cocok untuk hari Jumat. Dan memang. Saya sering memberi uang seribu-dua ribu rupiah, jika pengamen menyanyikan lagu religi di bus kota. Lagu Sepohon Kayu itu, salah satu favorit saya.

Saya sebenarnya sudah lama mendengar lagu itu. Lagunya terdengar "sangat Melayu." Saya curiga, lagu ini berasal dari daerah Riau, Jambi atau mungkin Malaysia. Saya mencari tahu, siapa pencipta lagu ini, dan saya menemukan nama Wafiq Azizah di internet. Yang aneh, wikipedia menyebut, Wafiq kelahiran tahun 1987, di Magelang, Jawa Tengah. Rasanya kok terlalu muda Wafiq mengarang lagu itu. Sebab saya sudah lama mendengar lagu itu tahun 90-an.

Saya belum menemukan jawaban pasti, soal pencipta lagu Sepohon Kayu. Yang jelas, Jeffry al Buchori dan beberapa kelompok nasyid pernah menyanyikan lagu itu.

Saya juga sering melantunkan lagu itu. Hingga anak-anak saya mengikutinya. Sampai, anak saya kedua, Haedar, mendengar muazin melantunkan lagu itu, menjelang azan Maghrib.

Lalu Haedar bertanya, "Papa, memang hidup itu sampai seribu tahun, ya?"

Agak terperanjat, lalu saya menjelaskan makna lagu itu. Saya bilang, seribu tahun itu simbol hidup yang panjang, karena hidup manusia tidak akan pernah selama itu, kecuali Nabi Adam. Nah, hidup lama tidak akan ada guna, kalau tidak sembahyang atau salat. Sebab, manusia hidup punya kewajiban beribadah, salah satunya salat.

Saya melihat anak saya manggut-manggut, saat saya menjelaskan itu. Saya berharap Haedar paham apa yang saya katakan, biarpun dia masih kelas dua SD.