14 June 2016

Cibalung

Haedar, anak saya kedua, menangis, karena Eyang Putrinya batal datang ke Bogor. Padahal, sejak lebaran lalu, dia sudah cerita ke tetangga dan teman-teman, Eyangnya dari Sragen akan menginap di rumah.

Haedar bahkan sudah membuat rencana, mengajak Eyang dan rombongan jalan-jalan di daerah Bogor.

Karena acara batal, saya harus menyiapkan rencana piknik. Jadilah kami camping di Cibalung, Cijeruk, Kabupaten Bogor.

Saya kira, tempat wisata ini jauh dari Bogor. Ternyata, hanya butuh waktu tak lebih dari satu jam dari rumah kami di Ciomas. Apalagi jika berangkat pagi dari rumah, dijamin pasti lebih cepat.

Saya beruntung berangkat pagi, karena masih kebagian tenda, yang kami sewa cukup murah, sekitar 600 ribu. Ini adalah harga sewa tenda standar, dengan sebuah tenda dan 4 sleeping bag. Pas, sudah.

Saya sengaja tidak menyewa tenda yang mewah, biar anak-anak merasakan camping beneran. Ini alasan yang terdengar mendidik, untuk menggantikan kata "ngirit."

Saya datang ke tempat ini saat libur akhir pekan panjang. Ternyata, semakin siang, tempat wisata ini semakin ramai. Bahkan, menjelang sore makin banyak tamu datang. Tidak semua tamu menyewa tenda, sebagian menyewa vila yang cukup nyaman, karena luas, dan harga terjangkau.

Hanya saja, makanan menjadi masalah di sini. Tamu banyak, tapi tempat makan kurang memadai. Ada resto, tapi persediaan dan pelayan terbatas. Bisa pesan, tapi terbatas waktu, pada jam-jam tertentu. Itupun lama.

Beruntung, kami mendapat jatah makan pagi, satu paket dengan harga sewa tenda. Untuk makan malam, kami harus memesan dan membayar lagi.

Selain tempat camping, tempat ini menyediakan tempat bermain dan outbound. Anak saya yang kedua, Haedar, suka tantangan. Dia mencoba flying fox, seharga Rp 25 ribu, untuk sekali terbang. Beberapa wahana bermain gratis, juga bernuansa alam terbuka.

Pada malam hari, beberapa tenda menyewa api unggun. Karena saya menyewa tenda standar, saya tidak mendapat fasilitas ini. Jadi, saya menyarankan anak-anak saya, bergabung dengan tenda yang punya fasilitas api unggun. Lumayan, mereka punya kenalan dan cerita, dengan trik gratisan.

Saat pagi, ada wisata jalan ke kampung di sekitar tempat camping. Anak-anak saya senang berjalan di jalan kampung. Lumayan, buat mengenalkan alam desa di sekitar Bogor, yang ternyata masih asri.

Yang tak kalah seru, tentu saja tiket gratis di water park. Anak-anak saya bermain sepanjang pagi, sebab menjelang siang, jalan kembali ke Bogor bakal macet dari arah Sukabumi.

Dan yang pasti, Haedar, anak saya yang kedua, sudah bisa melupakan Eyang Putrinya, yang batal datang ke Bogor.




Mimpi

Saat awal puasa, saya menelpon ibu. Ketika itu sahur pertama. 

Ibu bercerita tentang mimpi bertemu bapak. Kata ibu, bapak memeluk ibu erat di sebuah rumah besar. "Rumahnya besar dan bersih," ibu bilang. 

Saya membayangkan wajah ibu bercerita dipeluk bapak. Seingat saya, saya jarang menemukan mereka berdua beradegan romantis. Mereka orangtua, yang lahir tahun 1930-an dan 1940-an. Romantis, menurut saya, merupakan kata langka bagi mereka, meski 8 anak lahir dari perkawinan mereka.

Jadi, saat mendengar cerita itu, pikiran saya terbelah. Selain baru ngeh orangtua saya tidak romantis, sebagian perasaan saya membayangkan wajah ibu mengulang mimpinya. Saya merasa ada perasaan riang, saat ibu bercerita tentang mimpi bertemu bapak. Apalagi saat adegan bapak memeluk ibu erat.

Sebagian perasaan saya membayangkan tanda-tanda "pulang." 

***

Bapak meninggal pada Juni 2010. Saya sering lupa tanggal persisnya. Dia meninggal setelah beberapa tahun sebelumnya pulang haji. Tak berapa lama, simbah, yang sehari-hari hidup serumah dengan ibu, juga meninggal. Sejak itu, ibu merasa sendiri. 

Nah, mimpi ibu bertemu bapak itu, seperti sebuah tanda rindu bertemu. Dan saya membayangkan ibu "pulang," karena bapak sudah menunggu. Sebab rindu, bapak memeluk ibu. Bayangan rumah besar dan bersih adalah imajinasi tentang surga. Bapak-ibu adalah orangtua yang istiqomah. Gak aneh-aneh. Surga adalah ganjaran bagi jalan pikiran lurus mereka.

Memang, semua ini terdengar seperti pikiran durhaka. Tapi, walau bagaimanapun, ibu saya sudah tua, 66 tahun. Dan setiap nyawa akan "pulang." Tidak hanya ibu saya, saya juga. 

Maaf, ibu.


Waktu

Saya baru saja bergabung dengan grup alumni SMA. Kalau dipikir, sudah 22 tahun saya berpisah dengan teman-teman SMA. Saat bergabung dengan mereka, saya merasa, waktu 22 tahun itu ternyata cepat. Meski ada beberapa kenangan hilang, beberapa cerita masih nyantol di kepala. Tapi, ya itu tadi, waktu 22 tahun terasa cepat berlalu.

Saya mulai berpikir. Ponakan saya yang paling besar sudah menikah, dan punya anak. Padahal, saya menyaksikan dia lahir, kecil, bermain boneka, sekolah, memberi dia hadiah buku, dan kuliah. Saya tidak menyaksikan dia menikah, karena berhalangan datang. Tapi, ya itu tadi, waktu itu terasa begitu cepat. Dulu masih bayi, sekarang sudah menggendong bayi.

Itu juga yang terjadi pada anak pertama saya, Haekal. Dulu masih imut, lucu, sekarang sudah ndut, dan hampir duduk di kelas V SD. Lagi-lagi, saya terkesima, waktu begitu cepat berlalu.

Lalu saya berpikir. Waktu yang begitu cepat berlalu, bagaimana dengan tabungan amal saya. Rasanya, saya belum punya banyak tabungan amal. Banyak kesempatan beramal terlewatkan. Sekarang jadi kecewa. Itulah waktu. Diam-diam menggulung, tidak bakal kembali. Dan sebentar lagi mati.